Senin, 26 Juli 2010

Liberalisasi Pendidikan Islam di Indonesia

Liberalisasi Pendidikan Islam di Indonesia

Fenomena merebaknya pemikiran sekularis, pluralis dan liberalis (sipilis) di sejumlah lembaga pendidikan agama Islam bukanlah hal baru. Sejak awal berdirinya, berbagai aliran pemikiran dan paham ideologi tumbuh subur di dalamnya. Bahkan pemikiran ini telah mengilhami berbagai perbuatan nyleneh; mulai dari kasus penyebutan asma Allah dengan, “Allahirrajîm (Allah terkutuk) dan setan dengan, “syaithân subhânnahu wa ta‘âla (setan mahasuci dan mahatinggi)”; kasus penginjakan lafal Allah, kasus penghinaan terhadap Islam, Al-Quran dan Rasulullah saw.; kasus tuntutan penglepasan kewajiban berjilbab; kasus aborsi, kasus perbuatan mesum dan zina sampai kasus pemakaian obat-obatan terlarang.

Tak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal, pemikiran sipilis pun telah merasuk ke pondok pesantren. KH Khalil Ridwan pernah menyampaikan peringatannya yang dimuat di “surat pembaca” Harian Republika (27/3/2006) terkait dengan adanya upaya infiltrasi paham sekularisme-liberalisme ke pondok-pondok pesantren yang dilakukan oleh lembaga pengasong ide liberal: International
Center
for Islam and Pluralism (ICIP). Lembaga ini didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Fakta lain, pada 18-28 September 2002, Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga Amerika, telah mengundang 13 pesantren ‘pilihan’ di Indonesia (dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) untuk berkunjung ke AS. Agenda ini terkait dengan kampanye liberalisasi pemikiran Islam ke pondok pesantren.

Konspirasi Barat di Balik Agenda Liberalisasi Pendidikan Islam

Berawal dari pidato Nurcholish Madjid (3/1/1970) di Jakarta dengan judul, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” liberalisasi terhadap ajaran-ajaran dan pandangan Islam dianggap penting. Pidoto ini telah menjadi momentum penting bagi Gerakan Pembaruan (baca: liberalisasi) Islam di Indonesia. Gerakan ini bukan sekadar pemuasan hasrat intelektual belaka, tetapi merupakan gerakan sistemik konspiratif. Arahnya jelas, yakni menyebarkan ide liberalisme Barat ke Dunia Islam. Hal ini sinergis dengan pernyataan Bush seperti yang dimuat Kompas (6/11/2004), “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.”

Pasca runtuhnya Uni Soviet, Barat telah menjadikan Islam sebagai ancaman utama bagi keberlangsungan ideologi kapitalis-liberal. Hal ini dapat disimpulkan dari ungkapan Willi Claes, mantan Sekjen NATO, “Muslim fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan Komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini…Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.”

Berbagai kasus pemikiran dan perilaku nyleneh yang terjadi ternyata tidak terlepas dari upaya westernisasi (pem-Barat-an) negeri-negeri Islam yang dipromotori oleh Amerika, Inggris dan sekutunya. Melalui badan dunia PBB dan yayasan-yayasan internasional, Barat beserta para kapitalis melancarkan serangannya dengan menyusun program dan strategi liberalisasi pendidikan ke negara target maupun langsung ke lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam. Konspirasi liberalisasi pendidikan ini merupakan kelanjutan dari upaya Barat menghapuskan peradaban Islam dan mencegah tegaknya kembali syariah dan Khilafah. Selanjutnya Barat berharap akan tetap mampu menancapkan hegemoninya di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam.

Modus Intervensi Barat dalam Liberalisasi Pendidikan Islam

Dalam upaya liberalisasi pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren di Indonesia, dengan gencar Barat melancarkan modus berikut:

Pertama: intervensi kurikulum pendidikan Islam dan pondok pesantren. Kurikulum sebagai panduan untuk membentuk produk pemikiran dan perilaku pelajar/mahasiswa menjadi salah satu sasaran intervensi. Kurikulum bidang akidah, konsep wahyu maupun syariah Islam menjadi obyek liberalisasi yang tersistemkan. Liberalisasi akidah Islam diarahkan pada penghancuran akidah Islam dan penancapan paham pluralisme agama yang memandang semua agama adalah benar. Liberalisasi konsep wahyu ditujukan untuk menggugat otentisitas (keaslian) al-Quran Mushaf Utsmani dan as-Sunnah. Adapun liberalisasi syariah Islam diarahkan pada penghancuran hukum-hukum Islam dan penghapusan keyakinan umat terhadap syariah Islam sebagai problem solving bagi permasalahan kehidupan manusia. Contoh kasus: “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” adalah mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, di sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam di Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Quran dan as-Sunnah. Empat buku referensinya sangat kental dengan ide-ide orientalis. Salah satunya adalah buku ‘Rethingking Islam’ karya Mohammed Arkoun. Dalam buku ini, Arkoun mengajak umat Islam untuk memikirkan kembali dan membongkar hal-hal yang sudah pasti dalam Islam. Ia pun menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya. Terdapat juga mata kuliah “Hermeneutika dan Semiotika” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Quran dan as-Sunnah. Implikasinya, mahasiswa dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran al-Quran dan as-Sunnah, termasuk meragukan kebenaran tafsir para mufassirin terdahulu karena kebenaran dinilai relatif, sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat. Dalam upaya intervensi kurikulum ini, The Asia Foundation (TAF) tercatat sebagai pengucur dana untuk reformasi kurikulum pendidikan kewarga-negaraan di empat universitas Islam yang membawahi 625 institusi dan kurang lebih 215.000 pelajar. Sejak tahun 2000, TAF bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia mengubah kurikulum untuk memperkuat reformasi demokrasi dan liberalisasi. Di samping intervensi kurikulum pendidikan Islam di Indonesia, Barat pun berupaya mengintervensi kurikulum pondok-pondok pesantren dengan kucuran dana 157 juta dolar AS lewat Departemen Agama RI. Menyikapi hal itu, KH Kholil Ridwan dari Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) menyerukan kepada para kiai pesantren agar menolak pemberian dana Amerika sebesar Rp 50 juta lewat Departemen Agama kalau disuruh mengubah kurikulum pesantren model mereka.

Kedua: bantuan pendidikan dan beasiswa kepada lembaga pendidikan Islam dan pelajar/mahasiswa di Indonesia. The Asia Foundation telah mendanai lebih dari 1000 pesantren untuk berpartisipasi dalam mempromosikan nilai-nilai pluralisme, toleransi dan masyarakat sipil dalam komunitas sekolah Islam di seluruh Indonesia. Tahun 2004, TAF memberikan pelatihan kepada lebih dari 564 dosen yang mengajarkan pelatihan tentang pendidikan kewarganegaraan yang kental dengan ide liberalis-sekular untuk lebih dari 87.000 pelajar. Fakta lain, AS dan Australia juga membantu USD 250 juta dengan dalih mengembangkan pendidikan Indonesia. Padahal, menurut sumber diplomat Australia yang dikutip The Australian (4/10/2003), sumbangan tersebut dimaksudkan untuk mengeliminasi ‘madrasah-madrasah’ yang menghasilkan para ’teroris’ dan ulama yang membenci Barat. Di samping bantuan pendidikan, pemberian beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke negeri Barat sudah menjadi modus operandi lama. Sejarah awal terjadi pada tahun 1950-an, saat sejumlah mahasiswa Indonesia belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS) yang didirikan oleh orientalis Cantwell W. Smith. Di antara mahasiswa itu adalah Harun Nasution, Rasyidi dan Mukti Ali. Pasca pulang dari belajar Islam gaya orientalis, Harun Nasution menjadi penggerak proses liberalisasi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sosok ini juga menjadi tokoh kunci terjadinya liberalisasi di seluruh Indonesia. Bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang banyak berisi liberalisme pemikiran Islam menjadi buku rujukan wajib seluruh IAIN di Indonesia. Adapun Mukti Ali menggawangi Departemen Agama; ia banyak berperan menciptakan iklim kondusif secara kebijakan untuk percepatan liberalisasi Islam. Kerjasama beasiswa ini dilakukan dengan Australia, Jerman, Belanda dan AS. Sosok kontroversial Nurcholish Madjid juga hasil dari cuci otak di Chichago University. Modus beasiswa ini bagaikan mafia agen liberalisasi. Apabila dalam liberalisasi ekonomi ada “Mafia Berkeley”, dalam liberalisasi pemikiran Islam kita kenal “Mafia McGill” dan “Mafia Chichago”.

Ketiga: pembentukan jaringan intelektual Muslim yang menyuarakan liberalisasi pemikiran Islam. Jaringan intelektual ini diwakili oleh Jaringan Liberal yang berlabelkan Islam, bekerjasama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri. Jaringan ini gencar menyuarakan kampanye dan pengopinian reorientasi pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang pluralis melalui berbagai media propaganda. Khamami Zada di Jurnal Tashwirul Afkar edisi II/2001 menuliskan:

Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman, kafir, muslim-non-muslim dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan.

Target Akhir: Liberalisasi Pemikiran Islam dan Muslim Moderat

Target akhir dari upaya liberalisasi pendidikan Islam dan pondok pesantren di Indonesia adalah liberalisasi pemikiran Islam dan menciptakan Muslim moderat yang pro Barat. Dari merekalah selanjutnya agenda liberalisasi pemikiran Islam akan disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Sasaran pembentukan Muslim moderat diprioritaskan dari kalangan intelektual Muslim dan ulama. Alasannya, karena intelektual Muslim dinilai memiliki peran strategis, baik dalam menentukan kebijakan pemerintah maupun peluang memimpin masyarakat; sedangkan ulama dinilai memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat akar rumput, di samping sebagai pelegitimasi hukum terhadap berbagai fakta baru yang berkembang. Dari sini dapat dipahami mengapa Barat begitu getol mengontrol dan mengarahkan sistem pendidikan Islam pencetak para intelektual Muslim dan ulama.

Demikianlah proses sistematik-konspiratif dalam liberalisasi pendidikan Islam di Indonesia. Selama dendam Barat masih menyala terhadap Islam, konspirasi akan terus berlanjut. Tidak ada cara lain bagi umat Islam, selain waspada, adalah merapatkan barisan dan menyusun strategi ke depan, agar serangan-serangan semacam ini tidak menghancurkan harapan kebangkitan Islam dan kaum Muslim.

Kamis, 22 Juli 2010

LIBERALISASI PENSDIDIKAN

LIBERALISASI PENDIDIKAN

Adapun dauroh ini diikuti oleh sekitar 10 ma’had aly se eks karesidenan Surakarta, dengan jumlah peserta kurang lebih seratus orang, acara ini berlangsung selama 2 hari dimulai dari tanggal 15 s/d 16 mei 2010.
Sedangkan pemateri dalam dauroh ini STTQ Isy Karima menghadirkan tokoh yang sudah tidak asing lagi di dunia pendidikan, diantaranya Prof.Dr. Ravik Karsidi beliau adalah pembantu rektor 1 di UNS, Prof. Dr. Sholahuddin MS beliau adalah pembantu rektor II di UNS, Prof.Dr. Bambang Setiaji beliau adalah Rektor UMS, dan Dr. Amir Mahmud AL Ma’ruf dosen di UNIVET,UMS.[rep/muad]

Selasa, 20 Juli 2010

IBNU KHALDUN DAN GAGASANNYA TENTANG SEJARAH DAN PERADABAN



A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ibnu Khaldun adalah mutiara yang bersinar sejak abad pertengahan hingga sekarang. Ide cerdasnya tidak akan habis dikaji oleh para sejarawan dulu, kini dan yang akan datang (The first philosopher of history and the last intelectual giant of Islam).

Al-Muqadimah karya Ibnu Khaldun (1332-1406) belum menampakkan tanda-tanda akan sirna, nampaknya karya ini masih saja dikaji dan diperdebatkan.

Adalah sesuatu yang alami dalam wacana ilmiah adanya sikap pro dan kontra terhadap hasil pemikiran atau temuan seorang ilmuwan, tidak terkecuali terhadap Ibnu Khaldun dan tesis yang ditemukannya.

Pihak yang pro telah menempatkan Ibnu Khaldun pada posisi yang sangat tinggi, sebagai seorang pemikir ensiklopedis yang tidak banyak muncul dalam sejarah seperti sejarawan A. J. Toybee. Bagi yang kontra, memposisikan Ibnu Khaldun yang sangat rendah sebagai grand misconception of the historical proces.

Penilaian yang saling berbenturan tentang Ibnu Khaldun dan ide-idenya merupakan penilaian yang saling berbenturan tentang Ibnu Khaldun dan ide-idenya merupakan salah satu indikasi dari kenyataan buku Al-Muqadimah masih juga usang untuk dibicarakan di kalangan para ilmuwan.[1]

2. Rumusan Masalah

Al-Muqadimah sebenarnya buku pengantar untuk karya sejarah universal dengan judul kitab: “Al-‘Ibrar wa Diwan al-Mubtada’ wa Khabar fi Ayyami al-Arab wal al-Ajam wal al-Barbar wa man ‘Asarahum min Dawi al-Sultan al-Akbar” (Kitab contoh-contoh dan rekaman tentang asal-usul dan peristiwa hari-hari Arab, Persi, Barbar dan orang-orang yang sezaman dengan mereka yang memiliki kekuatan besar) atau disingkat Kitab Al-‘Ibrar.

Namun kebenaran Ibnu Khaldun justru karena Al-Muqadimah-nya, dan bukan karena Kitab Al-‘Ibrar-nya. Mengapa demikian? Tidak sukar untuk menjawabnya, karena seluruh bangunan teorinya sebagai ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah tersirat dalam Al-Muqadimah. Kitab Al-‘Ibrar adalah buku empiris-historis dati teori yang telah dikembangkan.[2]

Bila dirunut secara kronologis dan berdasarkan berbagai perjalanan, pengembaraan serta pribadi yang ditemuinya, maka secara umum kehidupannya dapat diklasifikasikan menjadi 4 fase:

Pertama, fase studi hingga berusia 20 tahun, atau tahun 1332 M hingga 1352 M. Fase ini dilalui di Tunisia.

Kedua, fase berkecimpung di bidang politik, agaknya fase ini berlangsung lebih dari 20 tahun, yaitu dari tahun 1352 – 1376 M.

Ketiga, fase pendidikan dan kontemplasi di benteng Ibnu Salamah milik Banu ‘Arif, fase ini berlangsung selama 4 tahun yang berakhir tahun 1380-an M.

Keempat, fase bergerak di bidang pengajaran dan peradilan. Ada kalanya pada fase ini berlangsung untuk mengajar saja, yaitu ketika di Tunis dari tahun 1380 M sampai tahun 1384 M ketika Ibnu Khaldun menetap di Mesir. Keduanya ia lakukan ini berlangsung dari 1384 M sampai 1406 M atau sampai ia meninggal dunia pada usia 74 tahun.[3]

Dengan kenyataan ini sebenarnya apa yang disimpulkan Ibnu Khaldun lebih terbatas. Ruang lingkupnya di Afrika Utara dan pada beberapa dinasti Arab-Muslim. Lebih jauh penjelasan berdasarkan ringkasan Fuad Baali di bawah ini:

Menurut Ibnu Khaldun, kemunculan sebuah bangunan kekuasaan akan menimbulkan anarki, dan anarki pada gilirannya akan menghancurkan peradaban. Proses kehancuran ini berjalan melalui masa transisi dari kehidupan primitif (nomadisme), ruralisme menuju kehidupan hadhara (urbanisme).

Perubahan ini terjadi akibat masyarakat nomas tergoda oleh kemewahan kota yang serba menggairahkan.

Pemimpin mereka berusaha menarik berbagai ashabiyah di sekitarnya sebelum melakukan serangan terhadap negara tetangga. Bila serangan itu berhasil, maka diatas reruntuhannya itu dibangun sebuah negara baru. Proses itu berlangsung terus sebagai sebuah siklus, selama ada kontak antara masyarakat nomas dengan penduduk kota.

Diteorikan lebih jauh bahwa perkembangan sebuah negara mengalami 5 fase:

Pertama, saat mengalahkan musuh dari lawannya. Pada fase ini penguasa dijadikan model oleh para pengikutnya dalam hal memungut pajak …… pada fase ini penguasa tidak menjauhi dari pengikutnya.

Kedua, penguasa memerintah secara otokratik dan mulai dan mulai menjauhkan diri dari pengikutnya. Diciptakanlah fasal-fasal dan pengikut baru demi melemahkan posisi para pemegang ‘ashabiyah dan keluarga dekat yang mengklain sebagai sejajar dengannya dalam memerintah negara. Pada fase ini penguasa didukung oleh sejumlah kecil individu yang asing, tidak punya hubungan darah atau hubungan suku dengannya.

Ketiga, adalah fase bersenang dan fase kesenangan untuk hidup mewah dan kesukaan membangun monumen. Penguasa menggunakan seluruh kekuasannya untuk menarik pajak, mengatur pendapatan dan pengeluaran .

Keempat, adalah fase bahagia dan damai, bahkan dengan pihak musuh, penguasa sudah merasa puas dengan apa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya yang senantiasa dijadikan contoh. Inilah klimak dari sebuah perjalanan kekuasaan.

Kelima, adalah fase pemborosan dan kemewahan. Pada fase ini penguasa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh para pendahulunya demi mengikuti nafsu, kesenangan dan sikap pemurah terhadap lingkaran intinya. Pada fase ini, ia dikelilingi oleh teman-teman palsu dan orang-orang jahat yang dipercayainya untuk menangani tugas negara sedangkan mereka tidak becus untuk itu.[4]

Dalam kaitannya dengan analisis makalah ini, penulis menitikberatkan kepada suatu bentuk pernyataan, yaitu kepada suatu gagasan Ibnu Khaldun sebagai salah seorang penulis ilmu sosial modern yang dalam Al-Muqadimah di masukkan bagian dari Ilm al-Umran.

- Apakah hubungan ‘Ilm al-Umran dengan pemahaman dan penulisan sejarah.

3. Metode

Metode yang dipakai dalam makalah ini memberikan perhatian penuh kepada gagasan tentang sejarah dan peradabannya. Sedangkan pemikiran lainnya akan dilihat secara sepintas untuk menginformasikan kekayaan Ibnu Khaldun. Untuk itu secara sistematis penulis menyelami karier hidup Ibnu Khaldun serta lingkungan yang mengitarinya.

B. IBNU KHALDUN: TINJAUAN BIOGRAFI SINGKAT

Wali al-Din Abu Abdul Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, dikenal dengan nama Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Wafat di Kairo, Mesir pada 17 Maret 1406.[5]

Ibnu Khaldun adalah keturunan bangsawan dan tinggal di lingkungan kerajaan. Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Kemudian ia mempelajari bahasa dari sejumlah guru, yang terpenting adalah Abu Abdullah Muhammad ibn ‘Arabi Al-Itasyahyiri dan Abu Al-Abas Ahmad Ibn Al-Qushshar serta Abu Abdillah Muhammad ibn Bah. Ia mempelajari hadits kepasa Syamsudin Abu Abdillah al-Widayashi Al-Qashir. Ia juga belajar ilmu kealaman, filsafat, matematika, teologi kepada Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abili.

Disamping besar perhatiannya terhadap gurunya, Ibnu Khaldun juga menyebutkan buku yang pernah ia pelajari. Buku-buku itu antara lain: Al-Lamiyah fi Qira’at dan Al-Ra’iyah karangan Al-Syattibi, Ulum Al-Hadits karya Ibn Al-Sholah. [6]

Masa pendidikan formal demikian dilakukan sampai pada usia 20 tahun. Barangkali terpengaruh pada hidup lingkungannya yang mengetahui seluk beluk politik, ia masuk ke kancah politik yang penuh pergolakan, tetapi juga selalu dekat dengan kekuasaan yang didukungnya. Misalnya, ia dekat dengan Abu ‘Inan, Raja Maghrib tengah yang berkuasa. Kendatipun berkiprah dalam politik, posisi yang disandangnya bukan sebagai menteri tetapi Ibnu Khaldun memilih dalam lembaga ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun tidak lepas dari fitnah orang terdekatnya sehingga ia pernah dipenjarakan dan dituduh sebagai penyebab kekalahan perang.

Pada usia sekitar 25 tahun, Waliudin menyaksikan perhelatan politik di daerahnya setelah ia menyaksikan bekas-bekas kehancuran Muwahidun. Wilayahnya diserang oleh Bani Marwan yang menyebabkan ilmuwan besar itu berpindah tempat tinggal. Atas ajakan gurunya, Ibnu Khaldun turut serta mengungsi ke Fez (Marko). Di Fez, Ibnu Khaldun bertemu dengan Sultan Ibnu Inan, dan diperkenalkan dengan ilmuwan terkemuka seperti Muhammad Ibnu Shafar, Muhammad Al-Maqqari. Ibnu Khaldun sempat menjadi sekretaris negara di Fez karena dipandang memiliki kemampuan menulis yang baik.

Atas persetujuan Raja Muhammad V, Ibnu Khaldun berangkat ke Afrika pada tahun 1365. Pada saat itu situasi telah jauh berbeda dengan negara-negara lain, yaitu perebutan kekuasaan dan kekacauan politik yang tak kunjung usia. Akhirnya Ibnu Khaldun memutuskan pindah lagi ke Fez pada tahun 1374. Penguasa senang atas kehadirannya, tetapi agaknya Ibnu Khaldun mulai pindah haluan dari politikus ke kerja ilmuwan. Di duga di sinilah Ibnu Khaldun mulai menulis karya Muqadimah.

Di tempat Qal’at Ibnu Salamah, ia menulis pengalaman dan pengamatannya secara teratur, kemudian menulis Kitab Al-‘Ibrar. Kemudian ia kembali ke Tunisia. Di Tunisia inilah ia menyelesaikan karyanya Al-‘Ibrar pada tahun 1382. Di Tunisia, Ibnu Khaldun mendapat informasi dari beberapa temannya bahwa jiwanya diincar oleh sekelompok orang yang akan membunuhnya. Kemudian ia pindah ke Mesir sambil menerbitkan dan merevisi buku-bukunya yang telah ia tulis sampai meninggal dunia.[7]

C. GAGASAN IBNU KHALDUN TENTANG SEJARAH DAN PERADABAN

A. Gagasan tentang sejarah

1. Sejarah mencakup dua hal

a. sisi luar : deskripsi tentang perputaran kekuasaan di masa lampau.

b. sisi dalam : penelitian kritis dan cermat untuk menemukan kebenaran (penggalian bagian man dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi).

Dari perspektif b, ia mengkritik karya sejarah Islam terdahulu (mis. Al-Mas’udi, hal. 857, dan Al-Bakri, w. 1094) yang menderita tujuh kelemahan pokok:

1). Sikap memihak kepada pendapat-pendapat mereka.

2). Terlalu percaya kepada penulis berita sejarah.

3). Gagal menangkap maksud apa yang dilihat dan didengar serta menyampaikan laporan atas dasar persangkaan.

4). Perkiraan yang tidak punya dasar.

5). Kebodohan dalam mencocokkan kenyataan dengan kejadian sebenarnya.

6). Kegemaran mendekatkan diri kepada pembesar dan orang orang berpengaruh tanpa kritik.

7). Ketidatahuan tentang hakikat situasi dalam kebudayaan.

2. Sejarah merupakan panggung moral karena itu ia terikar dengan filsafat.

3. Sejarah harus merupakan diskripsi yang utuh karena itu ia terkait dengan sosiologi dan antropologi ( )

B. Gagasan tentang masyarakat dan peradaban

1. Prinsip dasar

1.1. Fenomena sosial budaya tunduk pada hukum, walau tidak semutlak hukum alam.

1.2. Huku bekerja atas dasar dukungan massa dan tidak dapat dipergunakan secara signifikan oleh individu-individu dengan terpisah.

1.3. Hukum itu dapat ditermukan dengan menyimpulkan sejumlah fakta atau dengan mengamati persamaan-persamaan dan urutan-urutannya.

1.4. Hukum itu umumnya berlaku untuk semua masyarakat (peradaban) dengan jenis struktur yang serupa.

1.5. Masyarakat dan (peradaban) tidak statis, bentuk sosial budaya berubah dan dinamis melalui fakta utamanya kontak sosial antar individu dan kelas yang berbeda.

1.6. Faktor sosial budaya lebih menentukan perubahan masyarakat (peradaban daripada faktor lingkungan fisik).

2. Beberapa hukum/teori sosial budayanya.

2.1. Tipologi/evaluasi masyarakat (arab)

Badawah Hadarah

- Berpindah - Menetap

- Hidup sederhana - Hidup merwah

- Ashabiah kuat - Ashabiah rendah

2.2. Hubungan antara kekuasaan (negara) dan peradaban kekuasaan

lemah/runtuh à anarkhi à peradaban hancur

kekuasaan kuat àstabilitas à peradaban maju

D. IBNU KHALDUN DALAM KONTEKS INTELEKTUALITAS PERADABAN KLASIK DAN MODERN

Sebagai siswa yang pandai, Ibnu Khaldun di masa mudanya yang agak tenang, mungkin terpuaskan oleh keasikan belajar. Tetapi masa tuanya ditandai oleh kekacauan-kekacauan politik yang mengguncangkan pikirannya. Salah satu faktor yang menyebabkan Ibnu Khaldun tahan menderita adalah kecenderugannya sebagai intelektual dan praktisi yang tidak mudah untuk didamaikan. Tokoh yang berpengetahuan luas ini harus menghormati dan mengagumi kehalusan peradaban dan kehidupan kota, tetapi ia juga memiliki ciri rasa angkuh dan individualis.

Dalam bidang politik, Ibnu Khaldun adalah negarawan yang kurang beruntung. Hampir usahanya dalam bidang politik dan kedekatannya dengan kekuatan gagal di tengah jalan. Hal ini dijadikan salah satu alasan bagi ilmuwan yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pesimis.

Fatalisme dan pesimisme hadir dalam setiap halaman Muqadimah seperti halnya seorang penulis modern yang mengatakan pengalaman adalah lentera yang menerangi jalan yang ditempuh. [8]

Kegagalan bagi Ibnu Khaldun menggugah rasa keingintahuan dan berusaha menguak hanya fenomena-fenomena sejarah, tetapi juga faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan itu. Demikian juga mekanisme yang mengantar orang-orang tertentu naik ke panggung kekuatan politik.

Dari catatan diatas bisa dilacak kesungguhan Ibnu Khaldun untuk merumuskan suatu ilmu tentang sejarah dan peradaban. Ilmu baru yang ia rumus ini dikemudian hari disebut dengan berbagai nama sesuai dengan kehendak penulis atas pemikiran Ibnu Khaldun.

Ada sementara orang menyejajarkan Ibnu Khaldun dengan Machiavelli, Montesqieu dalam teori kenegaraan. Dalam sosiologi, gagasan Ibnu Khaldun tentang Ilm’ Umran tidak diragukan lagi orisinalitasnya. Ilm ‘Umran memuat prinsip-prinsip ilmu sosial yang di barat baru dikembangkan sejak abad ke-18 oleh tokoh-tokoh seperti August Cone, Hebert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dll.

Selanjutnya tentang posisi Ibnu Khaldun dalam jajaran sosiolog modern, Dauoadi menyejajarkan beberapa dualistipologi suatu persekutuan masyarakat dalam sosiologi modern dikenal adanya persekutuan masyarakat. Dalam sosiologi modern dikenal adanya persekutuan gemeinschaft dan gesselchaft (Ferdinand Tonnies). Mechanic dan organic solidarity society (Durkheim), prymary dan secondary group society (Gooly), jauh sebelum mereka Ibnu Khaldun membuat tipologi masyarakat badui – nomaden dan masyarakat kota.

A Lyson menempatkan posisi Ibnu Khaldun dalam pembahasan individu dan masyarakat diantara sederetan sosiologi dan filosof seperti Thomas Aquinas, Thomas Hobes, dll. Bahkan Lysen menempatkan posisi sentral Ibnu Khaldun diantara tokoh-tokoh tersebut menulis:

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita bertemu seorang pujangga yang mencoba memecahkan masalah sosial dengan cara berfikir bebas dan atas dasar ilmu pengetahuan. Usahanya pun amat baik hasilnya, sehingga berbagai ajarannya karena berdasarkan penyelidikan atas faktor-faktor dengan cara sangat mendalam, sekarangpun masih dapat diakui kebenarannya”[9]

Pada awal abad modern, dikalangan barat memang terjadi penindasan dan perkembangan filsafat sejarah dan ilmu-ilmu sosial yang sedikit banyak mengadopsi gagasan-gagasan Ibnu Khaldun. Muqadimah merupakan cahaya terakhir yang melontarkan apa yang lazim disebut Renasaince Arab.

Akan tetapi hal itu tidak terjadi di dalam dunia Islam. Bahkan Philip K. Hitti sambil memuji Ibnu Khaldun yang secara halus mengatakan bahwa Ibnu Khaldun dilahirkan pada zaman dan tempat yang salah. Ibnu Khaldun tampil terlalu lambat untuk bisa membangkitkan responsi dikalangan umatnya sendiri yang tidur nyenyak dalam abad tengahnya, atau untuk menemukan calon penerjemah di kalangan Eropa. Ia tidak mempunyai pendahulu dekat dan tidak pula punya penerus. Tidak ada lairan pemikiran Khalduniyah (Khaldunisme). Karirnya yang melejit itu menyinari sepanjang Afrika Utara hampir tanpa meninggalkan berkas cahaya di belakangnya.[10]

E. GAGASAN IBNU KHALDUN DI DUNIA BARAT

Ide-ide konstruktif Ibnu Khaldun yang mengilhami lahirnya ilmu-ilmu sosial modern serta menjadikannya luput dari kritik negatif sejarawan di belakangnya. Tetapi gagasan tersebut seolah sia-sia, dan tak mendapat sambutan dari para ilmuwan dunia Islam, karena pada masa dan setelah Ibnu Khaldun adalah masa kemunduran, yang kemudian banyak tradisi peradaban Islam itu masuk ke Barat, sampai unggulnya peradaban barat itu, dan kemudian kemenangan mereka atas kaum muslim. Di barat itulah kemudian ilmu sosial yang dirintis Ibnu Khaldun menemukan sambutan yang bersemangat.

F. PENUTUP

Di atas diuraikan sosok Ibnu Khaldun dan pemikirannya/gagasannya. Dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial modern, Ibnu Khaldun dalam temuannya berupa ilmu al-‘Umran yang empiris dan sistematis tidak diragukan lagi sebagai perintis awal ilmu-ilmu itu.

Adapun mengenai hubungan sejarah dari ilmu al ‘uman dapat dijelaskan bahwa yang terakhir berfungsi sebagai pelayan sejarah dalam membantu filsafat politik untuk mencapai tujuan, yaitu keteraturan negara dan ketenangan kehidupan bermasyarakat.

Akhirnya, karir hidup Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa selama terlibat dalam fluktuasi politik yang serba panas ia berpisah dengan politik. Ia muncul sebagai seorang yang jujur, adil, dan objektif. Sifat-sifat ini dibawanya sampai ia wafat pada awal abad ke-15 Masehi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996

A. Lysen, Individu dan Masyarakat (Terjemah), Bandung: Sumur Bandung, 1964

Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997

Osman Raliby, Ibnu Khaldun: Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Fuad Baali, Society, State and Urbanism: Ibn Khaldun Sociological Thought. New York: State University of New York Press, 1988. h. 69-71

Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Jakarta: Grafiti Press, 1985


[1] Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. hal. 3

[2] Ibid, hal. 24-25

[3] Osman Raliby, Ibn Khaldun: Tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), hal. 13-41. Osman hanya mengedit sebagian kecil dari buku Muqodimah.

[4] Fuad Baali, Society, State and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sociological Thought. New York: State University of New York Press, 1988, hal: 69-71

[5] Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Work. New Delhi: Kitab Bharan, 1994, hal:3

[6] Ali Abdulwahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya (penterjemah Ahmadi Thaha), Jakarta: Grafiti Press, 1985, hal: 3

[7] Ibid foot note 3

[8] Ibid footnote 1 hal. 31

[9] Al. Lysen, Individu dan Masyarakat (Terjemah), Bandung: Sumur Bandung, 1964, hal. 49-50

[10] Sebagaimana disinyalir Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 10

Senin, 19 Juli 2010

Kerangka Dasar Pemikiran pada Peneltian Keislaman


Kerangka Dasar Pemikiran pada Peneltian Keislaman

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan yang dapat diperoleh suatu penelitian, tergantung pada nilai guna bagi yang hendak memanfaatkan hasil penelitian itu. Dari hasil penelitian itu, seseorang dapat menggunakannya untuk: (1) mengembangkan kerangka dan konsep teoritis disiplin ilmu yang digunakan, (2) tujuan praktis, seperti pengambilan kebijakan atau keputusan guna penataan kehidupan masyarakat yang hendak dibina dan diatur, sesuai dengan yang dikehendaki.

Meneliti fenomena keislaman, berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Fenomena keislaman itu sendiri adalah perwujudan sikap dan prilaku manusia menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan beralasan dari suatu kegaiban dalam Islam.

Penelitian dalam lapangan keislaman, pada awalnya memerlukan ketepatan cara pandang untuk menemukan posisi yang sesungguhnya dari obyek hidup keislaman itu dalam masyarakat dan kebudayaan yang hendak diteliti. Aspek-aspek keislaman itu mempunyai arti dan kedudukan lain pada fenomena kehidupan sosial budaya lainnya.

Menurut Mattulada, ilmu-ilmu agama pada segi-segi yang menyangkut masalah sosial, menjadi bagian yang dapat diteliti dan diamati dengan menggunakan piranti atau metodologi ilmiah. Kalau segi-segi yang diamati itu berada pada posisi fenomena sosial, maka metode pengkajian yang digunakan adalah metode-metode ilmu-ilmu sosial. Bagi A. Mukti Ali, cara pengumpulan gejala-gejala keagamaan mirip dengan pengumpulan data-data dalam sosiologi. Meski demikian, pengumpulan datanya bukanlah sosiologi melulu, sebab umat bergama menafsirkan gejala-gejala dalam masyarakat itu menurut cahaya ajaran agamanya. Ini berarti, penelitian agama tidak bisa berdasarkan sosiologi melulu, tetapi juga berdasarkan ajaran-ajaran agama yang mendorong lahirnya gejala-gejala itu. Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa fenomena agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karenanya, tidak ada persoalan, apakah penelitian keagamaan itu termasuk dalam penelitian ilmu sosial, penelitian budaya, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.

Islam sebagai sasaran penelitian budaya, tidak berarti bahwa Islam yang diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia, tetapi pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian budaya. Sebagai contoh adalah penelitian Hasan Muarif Ambary tentang studi arkeologi di Samudra Pasai dan Brunei Darussalam yang dapat menggambarkan keberadaan kedua kerajaan Islam tersebut. Proses penelitian yang dilakukan Ambary adalah meneliti makam raja-raja Muslim yang ada di kedua wilayah itu. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kedua kerajaan itu memiliki kontak budaya dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Mataram dan China.

Islam sebagai sasaran penelitian sosial, tidak terlepas dari kajian sosiologi agama. Salah satu metode penelitian sosial yang digunakan dalam penelitian agama adalah grounded research, yaitu suatu metodologi penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik, dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan. Sebagai contoh adalah konflik dan integrasi yang terjadi dalam masyarakat Bugis Amparita. Penelitian ini menelusuri tiga kelompok keagamaan, yaitu orang-orang Islam, orang-orang Towani Tolotang, dan orang-orang Tolotang Benteng di Amparita, Sulawesi Selatan. Dalam berinteraksi satu sama lain, terkadang dalam bentuk konflik, terkadang dalam bentuk kerja sama, dan terkadang pula dalam bentuk integrasi.

Pada penelitian keislaman sebagai gejala sosial, masalah sedikit lebih kompleks dan diperlukan sistematika, ketimbang pada saat meneliti Islam sebagai gejala budaya. Dikatakan demikian, sebab penelitian ilmu sosial berupaya meletakkan dirinya mendekati penelitian kealaman, atau sekurang-kurangnya terletak antara penelitian budaya dan penelitian kealaman. Dengan demikian, desain penelitian agama sebagai gejala sosial, akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala yang diamati, sebelum sampai kepada kesimpulan.

Untuk meneliti masalah di atas, ada empat hal yang harus dilakukan oleh peneliti, yaitu: Pertama, merumuskan masalahnya, termasuk operasionalisasi konsep dari masalah yang disebut dalam judul. Kedua, signifikansi atau pentingnya penelitian. Ketiga, cara melakukan pengumpulan dan analisis data. Keempat, studi pustaka..

STUDI AGAMA (Dalam Pendekatan Metode Ilmiah membentuk Pendidikan berkarakter)


STUDI AGAMA

(Dalam Pendekatan Metode Ilmiah membentuk Pendidikan berkarakter)

Oleh . Dr.H. amir Mahmud, S.Sos, M.Ag

( Dosen Fisip Univet Sukoharjo )

Perhatian pemerintah terhadap perkembangan masyarakat khusunya akademik berkenaan pengolahan pendidikan yang berkarakter, telah menyulut untuk adanya perubahan dalam melahirkan dan menciptakan ilmuwan atau sarjana yang berkarakter, pandangan tersebut sangat beralasan ketika modernisme dan gelombang globalisasi sangat kuat pengaruhnya dalam membentuk karakter dan prilaku.

Dalam rubrik ini penulis mengajak dan turut memberikan sumbangsih keilmuan kepada pelaku penyelenggara pendidikan, dosen dan juga mahasiswa yang sedang menekuni research, terlebih bersinggungan pada hasil wilayah prilaku, bahwa sesungguhnya nilai-nilai agama yang menjadi ajaran pada pemeluknya sangat berperan membentuk pola pikir dan pola laku . Maka dalam bahasan ini, dibutuhkan terobosan baru sebagai wacana studi keagamaan perlu kiranya memiliki tempat research pada perguruan tinggi yang nota benenya keilmuan umum. Dengan asumsi bahwa Agama selalu berhubungan dan tak terpisahkan dengan sains, yang dapat pula diteliti,

Agama tidak hanya dikaji secara teologis dan filosofis saja sebagaimana pandangan beragama tradisional yang hanya melahirkan sebuah hukum haram dan tidaknya perbuatan, tetapi juga agama dapat dikaji secara ilmiah( pandangan akademik) yang tidak bertentangan dengan keadaan perkembangan zaman. Adapun kajian pendekatan ilmiah tersebut secara garis besar memiliki ciri-ciri sebagai berikut: induktif, distansi metodis terhadap agamanya sendiri, analitis atau deskriptif, indikatif, dan empiris.

Adapun penjabarannya adalah :

- Induktif : maksudnya adalah bahwa dalam kajiannya bertitik tolak dari beberapa hal yang bersifat khusus kemudian disimpulkan secara umum.

Misalnya, setelah peneliti mendapatkan adanya perintah-perintah untuk menyiarkan agama pada ajaran-ajaran agama Budha, Kristen dan Islam, kemudian dapat disimpulkan : bahwa agama-agama seperti Budha, Kristen, Islam merupakan agama missionaris. Jadi pada kesimpulan umum tersebut dapat dirumuskan setelah memperoleh data khusus dari masing-masing agama yang sedang ditelitinya.

- Distansi metodis terhadap agamanya sendiri :

Pada tahapan ini si peneliti dalam mengkaji agama tidak terikat oleh ajaran agamanya sendiri atau tidak dicampuri oleh keyakinan agamanya, dimaksudkan terjaga dari unsur subyektifitas keyakinan.

Misalnya ketika pemeluk agama kristen mengkaji agama budha, maka dalam kajiannya itu bersikap netral atau tidak melibatkan keyakinan agama kristen di dalamnya.

- Analitis atau deskriptif :

Di maksudkan bahwa dalam kajiannya tidak normatif tetapi hanya mengumpulkan, menyususn, melukiskan, menguraikan dan mempertalikan gejala-gejala agama menjadi suatu keseluruhan.

Misalanya ketika pemeluk Islam mengkaji perkembangan ibadat di dalam ajaran kristen, maka ia dalam kajiannya terbatas pada penguraian perkembangan ibadat kristen saja tanpa menilai benar dan salahnya.

- Indikatif :

Pada pengertian ini, dalam kajiannya tidak imperatif, tetapi hanya menyelidiki gejala agama kemudian menguraikannya sejelas-jelasnya.

Oleh karena itu peneliti agama yang bersifat ilmiah hanya boleh menguraikan bahwa di dalam agama Islam ada perintah dakwah, tidak sampai menyatakan secara inperatif itu sudah melampaui kajian ilmiah, tetapi sudah menjadi kajian teologis.

- Empiris :

Maksudnya dalam kajiannya hanya menyangkut gejala-gejala agama yang dapat dialami atau diamati dan bukan yang bersifat metafisik.

Misalnya dalam kajian psikologi agama, yang diteliti adalah pengaruh keimanan kepada Tuhan tehadap jiwa seseorang. Pengaruh keimanan tersebut bersifat empiris, sehingga dapat dikaji secara ilmiah. Letak kajian tentang Tuhan ditempatkan dalam kajian teologis maupun Filosofis.

Semoga studi agama dalam pandangan dunia ilmu dan ilmuwan yang berkembang tidak terbatas pada peningkatan mutu pengetahuan agama semata tapi juga memberikan jawaban /output dan solusi pada moral dan akhlak dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Ada bermacam-macam kajian agama yang bersifat Ilmiah, kajian-kajian tersebut antara lain : kajian historis, sosiologis, psikologis, antropologis, dan komparatif/ perbandingan.

POLEMIC FATWA ULAMA IN INTERFAITH NUPTIALS IN INDONESIA


POLEMIC FATWA ULAMA IN INTERFAITH NUPTIALS IN INDONESIA

(Fatwa’s on marital and family issues)

Introduction

Among the fatwas on marital and family issues are those on the pronouncement of three talaqs at once (divorce), inter-religious marriages, child adoption, and the sale of inherited lands. Each of these fatwas will be examined here.

The question of the pronouncement of three talaqs at once is an old issue, as old as Islam itself. Fuqaha’ already have definite ideas about this. In this sense the fatwa of the M.U.I. on the question provides nothing original to the discussion. However, the interesting facet and a new twist in the discussion is how the M.U.I. dealt with the classical question in relation to the Marriage Law of 1974. On 22 September 1981 the Directirate General for Muslim Affairs of the Ministry of Religious Affairs wrote to the M.U.I. to ask about the legal status of the pronouncement of three talaqs at once, and whether it imposes three talaqs or one. The importance of the question lies, indeed, in the legal consequences. If it means only one talaq, which is called raj’I, the legal consequence is that the husband still has the right to return to the wife within the ‘idda period without hacing to conduct a new marriage ceremony. If the pronouncement imposes three talaqs, which is called ba’in, the husband could return to the wife only after she had married another and divorced again (muhallil), in which case the first husband could then conduct a new marriage with her.

The Law Fall Talak

In response to the letter, the M.U.I. issued a fatwa on 24 October 1981 stating that the pronouncement of three talaqs at once imposed only one talaq. While the fatwa recognized the fact that, according to the majority of the Prophet’s companions, all of the four Sunni madhhabs, and Ibn Hazm the Zahiri the pronouncement of three talaqs, it preferred the view of a group of fuqaha’ consisting of Tawus, the Imami madhhab (Shi’i), Ibn Taymiyya, and some of the Zahiri fuqaha’ who said that such a pronouncement imposed only one talaq. The fatwa was signed by Ibrahim Hosen and Musytari Yusuf, the chairman and the secretary of the Fatwa Commite respectively.[1]

In addition to the referebce to the differing views of the fuqaha’, the arguments put forward by the fatwa are not so much concerned with the Qur’an or Hadith or fiqh texts but rather with the Marriage Law passed by parliament in 1974.[2] The fatwa stated that, with the promulgation of the Marriage Law, the cases of the pronouncement of three talaqs at once should not have occurred in the first place. Under the law a husband can pronounce talaqs only before the judges of the Islamic Courts; the judges declare the legality of the pronouncement. Thus, casual pronouncements of talaq by a husband to his wife at home or in a letter can indicate the intention of divorce, but have no legal force.[3] The law is indeed progressive in the sense that it departs from the traditional practice in which casual pronouncements of talaq are held to be valid, and that it courageously discards the established views held by the early fuqaha in favor of a law made by a secular institution, the parliament. Here the M.U.I. correctly recognizes the classical fiqh textz as the products of fuqaha’ rather than as sacreddivine laws. The fatwa goes further by asking the Islamic Courts to make every effort to prevent three-talaq pronouncements, thus in practice ruling out the existence of triple talaq itself. In other words the fatwa of 1981 was a death knell for the practice of three-talaq pronouncement in Indonesia. It is true that, as early as the 1930s, Ahmad Hasan of the Persatuan Islam had given a fatwa to the same efect, but his argument was based on quotations of Hadith rather than on any secular law. Thus, the fatwa of the M.U.I. is different in the sense that laws produced by the state take precedence over the classical fiqh texts. The fatwa and the Marriage law clearly reinforce one another, although it is not easy to make a judgement as to which has the greather influence. Judging by the chronology of events, however, the fatwa seems to hace functioned to clarify the matter, while the legal power remains with the Marriage Law.[4]

Connubial MUI Religious Advices between Umat

Another fatwa of the M.U.I. on marital issues to be examined here is that on inter-religious marriages. This is another question that has been dealt with extensively by classical fiqh texts. The fatwa was issued on 1 june 1980 as a response to the growing concern in society about the increasing incidence of inter-religious marriages. In fact, the discussion for the fatwa took place at the Second Annual Conference of the M.U.I. held in 1980 rather than at the regular Fatwa Commite meeting. The fatwa made two direct statements about the question. Firstly, that a Muslim woman was forbidden (haram) to marry a non-Muslim man; and secondly, that a Muslim man was forbidden (haram) to marry a non-Muslim woman. The fatwa was signed by Hamka and Kafrawi, the general chairman and the secretary of the M.U.I. respectively. Strangely enough, the fatwa was countersigned by the Minister of Religious Affairs, Alamsjah Ratu Perwiranegara. However, the importance of the fatwa is not so much determined by the ministerial signature but rather by the fact that it was discussed and decided by an Annual Conference of the M.U.I.[5]

The arguments put forward by the fatwa consist exclusively of Qur’anic and Hadith quotations, and no reference is made to any fiqh text. The first Qur’anic verse qouted concerns the prohibition of marriage between a Muslim man or a woman and a mushrik (idolator)[6] because Allah considers a Muslim slave better than an idolator; the second concern the permissibility of a Muslim man marrying a woman of the ahl al-kitab (people of the book, namely Christians and Jews)[7]; the third concerns the prohibition of marriage between a Muslim woman and an unbeliever (kafir); the fourth concerns the command to keep oneself and one’s family from going to hell. The Hadiths qouted are concerned, firstly, with the doctrine that a good marriage is equal to half of the faith, and secondly, with the belief that children are born pure (fitra); only the parents make them jews, Christians, or Zoroastrians.[8]

The interesting thing about the fatwa is that, while the qur’an explicitly permis a Muslim man to marry a woman of the ahl al-kitab, the fatwa does not. It forbids such a marriage on the grounds that the mafsada (harm) is greater than the maslaha (benefit). Although the fatwa refers specifically to the case of Indonesia, it is aradical position, for contradcts the explicit statement of the Qur’an. It also contradicts classical fiqh texts that had so far been consulted by MUI for other fatwa Classical fiqh texts are in agreement concerning the permissibility of marriage between a Muslim man and a woman of the ahl-kitab.[9] The question arises as to what the basis for the MUI’s contradiction of the Qur’an was.

A week later, on 19 August 1975, the Jakarta regional council of ‘ulama’ supplied a document presenting quotations of the views of a number of fuqaha’ to serve as further arguments for the earlier statement. The supplementary document refers to the texts of al-Jaziri and Sayyid Sabiq, and two works of tafsir by Rashid Rida, al-Manar, and Sayyid Qutb, Fi zilal al-Qur’an, all of which maintain the prohibition against a Muslim woman marrying a non-Muslim man regardless of his being mushrik or the ahl al-kitab. The texts say that permission is granted only for a Muslim man to marry a woman of the ahl al-kitab.

The second document takes the form of a public letter, issued again some 11 years later on 30 September 1986 by the Jakarta regional council of ‘ulama’. The letter urges Muslims not to engage in inter-religious marriages. After referring to its own statement of 1975, mentioned earlier, and to the fatwa of the M.U.I. of 1980 on inter-religious marriages, the letter gives details as to how to proceed should the question of inter-religious marriage arise. It says that Muslims should not, under any circumstances, engage in marriage with non-Muslim. A Muslim man who, for reasons of necessity, such as living in an area with a non-Muslim majority, is considering marrying a non-Muslim woman of the ahl al-kitab should ask himself if he would be capable of persuading his prospective wife to cenvert to Islam, and if he would be able to raise his future children under Islamic guidance. If the answer is no, he should refrain from the marriage. The letter further says that, should a marriage involving a Muslim man and a non-Muslim woman be arranged, the wedding ceremony should be conducted by the Office of Muslim Affiars (Kantor Urusan Agama, the K.U.A.) under Islamic procedures. To public servants in the Office of Civil Registration, who register non-Muslim marriages, the letter urges that respect by paid to the faith of those who come to have their marriages registered by the office. Should one of the marrying parties be a Muslim, the letter asks the Civil Registration Office to advise the couple to have their marriage registered by the Office for Muslim Affairs (the K.U.A.). The letter claims that this is in line with the spirit of Pancasila, the Constitution of 1945, and the Marriage Law of 1974. The letter was signed by Ahmad Mursjidi and Ghozali Syahlan, the chairman and the secretary of the Jakarta regional council of ‘ulama’ respectively.[10]

The Issue of inheritance and the adopted child

As one of the results of the annual conference of 1984, the M.U.I. issued fatwa on child adoption. The fatwa states that Islam recognizes only natural parenthood bound by legal marriages. Therefore, the fatwa further says, child adoption in Islam neither ends the legal relationship between the child and his or her natural parents nor creates a new legal relationship (including that of inheritance) with his or her adoptive parents. The fatwa maintains that child adoption practiced in Indonesia by foreibner contradicts Article 34 of the Constitution of 1945.[11]

The arguments put forward by the fatwa begin with the quotation of three Qur’anic verses and four Hadiths, followed by references to two works of tafsir and fiqh. The three Qur’anic verses quoted state that God does not make adopted children the real children of the adoptive parents, that adopted children are to keep the family names of their natural parents, and that Muhammad is not the father of Zayd, the adopted son.[12] The four Hadits quoted in the fatwa basically that those who who do not call their adopted children by the family names of their natural parents will have difficulty entering paradise. The two works by Muslims referred to in the fatwa are the Tafsir ayat al-ahkam of al-Sabuni and al-Fatawa of Mahmud Shaltut. Al-Sabuni is quoted by the fatwa to have said that Islam renounced the system of child adoption practiced at the time of the Jahiliyah.[13] Shaltut is quoted to have said that there were two kinds of child adoption, one permitted and the other prohibited in Islam. The one permitted and even encouraged by Islam is child adoption that does not end the legal relationship with the natural parents or create a new legal relationship, including marriage limitations and the right of inheritance, with the adoptive parents.[14]

Debates about the legal status of child adoption are long standing in Indonesia. Earlier in his study mention was made of the controversy in the 1930s between Muslim and the proponents of the adat law over the issue of inheritance and the adopted child, and in the early 1970s over the first draft of the bill on marriage submitted by the government to parliament. In this sense the fatwa is only reactivating an old issue. However, there are two new elements in the fatwa. Firstly, the fatwa’s reference to Article 34 of the Constitution which stated that poor and deprived children are the responsibility of the government; secondly, its mention of the practice by foreign citizens of adopting Indonesian children. The question arises as to the significance of mentioning these two elements in the fatwa.

The explanation is traceable to a statement made by Syukri Ghozali on 14 July 1979 when he was the chairman of the Fatwa Committee and one of the vice chairman of the M.U.I. The statement itself didi not take the form of a fatwa but was rather a paper on child adoption presented during a discussion with the leadership of the Jakarta regional council of ‘ulama’. For some reason the paper, together with the fatwa on inter-religious marriages, was included in a volume published by the Jakarta regional council. The paper began by describing the limitations on child adoption in Islam and re-evaluating the history of the Prophet’s relation to his adopted son, Zayd b. Haritha, for which the paper made reference to relevant Qur’anic verses. Suprisingly the paper later discussed the question of the practice of child adoption for religious motives in Indonesia. It said that it had long been a practice for many deprived Indonesian Muslim children to be adopted and raised as Christians, even to become Christian teachers or missionary workers. The paper further said that some of them were sent abroad for training and, later, returned to Indonesia to preach Christianity. The paper complained that, although such missionary activities should not be permitted in Indonesia, the government didi not take any ction to stop them. Hence, the paper argued, this problem should be made public in order that the practice be somewhat resricted. The paper even suggested that if the decision were made to go public on the issue, it would have to be done thoroughout the country. The paper did not mention the source of the claim of religiously-motivated child adoption, but it did suggest that the paper need further revision.

It seems clear from the foregoing discussion that some fatwas of the M.U.I. on marital and family issues have been conditioned by the question of Muslim-Christian rivalry. The fatwas on inter-religious marraiges, child adoption, and the sale of inherited lands prove this to be the case. The fatwa on the pronouncement of three talaqs at once is rather different in nature. It is a case of imposing state laws over classical fiqh texts. The arguments put forward in those fatwas differ in character. As discussed earlier, in the fatwa on the pronouncement of three talaqs the arguments go Hadith bases. In the other fatwas, however, the arguments rely heavly on Qur’anic and Hadith quotations before referring to any work of tafsir or fiqh. It seems that, when a fatwa is designed to protect the Muslim community as a whole from some external force, the arguments are prepared with as much reference to the scriptures as possible. However, when a fatwa is designed only to meet some internally established need, the arguments are prepared based on fiqh texts in a straighforward manner without prior examination of the Qur’anic bases. This is to say that the presentation of the arguments in the fatwas of the M.U.I. on marital and family issues seems to have been conditioned by the purpose of the fatwas rather than by concern for the consistency of employing a methodology.


[1] Present at the meeting preparing for thefatwa were syukri Ghazali, Abdul Aziz, Tengku Muh Saleh, and Syafe’I Hadzami. See Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa, pp 91,92. For the views of the four Sunni madhhabs on the question, see al-Jziri, al –Fiqh ‘ala al-madhabib al-arba’a vol 4,pp34, and Sayyid Sabiq Fih al-sunnah vol 2, al-Malibari, fath al-mu’in,pp.114

[2] The Politicalsurrounding the debate over the issue of the Maaiage Law was discussed in the preceeding chapter

[3] See article 39 of the Marriage Law

[4] For the Fatw of Ahmad Hassan, see his soal Jawab tentang berbagai masalah Agama Vol1 ( Bandung: Diponegoro, seventh edition, 1983 ),pp. 268-280

[5] Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia (Jakarta: Sekretariat MUI, 1986), pp 71-73

[6] Qur’an,2:221

[7] Qur’an, 5: 5

[8] Majelis Ulama Indonesia, Tuntunan Perkawian, pp 75-77

[9] See, fpr example, al-Nawawi, Minhaj al-talibin,p 87; al-Asari, Tuhfat al-tullab bi sharh it tanqih al-lubab (Indonesia; Dar ihya al-kutub al-arabiyaa, reprint,nd), p.96;al-Sharqawi, Sharqawi ‘ala al-tahrir,p.237

[10] Majelis Ulama DKI Jakarta, Seruan tentang perkawinan antar agama ( Jakarta,1986 ),pp.1-19.) And The letter specifically refers to two Jakarta daily newspapers, Kompas of 10 and 12 July 1986, and Pelita of 30 July 1986, and a magazine, Panji Masyarakat No.510,1986

[11] Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa. P 125

[12] Three out of the four Hadist quoted are reported by both Bukhari and Muslim, and one by Bukhari alone

[13] Muhammad ‘Ali al_Sabuni, Tafsir ayat al-ahkam vol.2 ( Damaskus Matha’a al-ghazali, second edition1977). 269

[14] Shaltut, al-fatawa, 321