Selasa, 20 Juli 2010

IBNU KHALDUN DAN GAGASANNYA TENTANG SEJARAH DAN PERADABAN



A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ibnu Khaldun adalah mutiara yang bersinar sejak abad pertengahan hingga sekarang. Ide cerdasnya tidak akan habis dikaji oleh para sejarawan dulu, kini dan yang akan datang (The first philosopher of history and the last intelectual giant of Islam).

Al-Muqadimah karya Ibnu Khaldun (1332-1406) belum menampakkan tanda-tanda akan sirna, nampaknya karya ini masih saja dikaji dan diperdebatkan.

Adalah sesuatu yang alami dalam wacana ilmiah adanya sikap pro dan kontra terhadap hasil pemikiran atau temuan seorang ilmuwan, tidak terkecuali terhadap Ibnu Khaldun dan tesis yang ditemukannya.

Pihak yang pro telah menempatkan Ibnu Khaldun pada posisi yang sangat tinggi, sebagai seorang pemikir ensiklopedis yang tidak banyak muncul dalam sejarah seperti sejarawan A. J. Toybee. Bagi yang kontra, memposisikan Ibnu Khaldun yang sangat rendah sebagai grand misconception of the historical proces.

Penilaian yang saling berbenturan tentang Ibnu Khaldun dan ide-idenya merupakan penilaian yang saling berbenturan tentang Ibnu Khaldun dan ide-idenya merupakan salah satu indikasi dari kenyataan buku Al-Muqadimah masih juga usang untuk dibicarakan di kalangan para ilmuwan.[1]

2. Rumusan Masalah

Al-Muqadimah sebenarnya buku pengantar untuk karya sejarah universal dengan judul kitab: “Al-‘Ibrar wa Diwan al-Mubtada’ wa Khabar fi Ayyami al-Arab wal al-Ajam wal al-Barbar wa man ‘Asarahum min Dawi al-Sultan al-Akbar” (Kitab contoh-contoh dan rekaman tentang asal-usul dan peristiwa hari-hari Arab, Persi, Barbar dan orang-orang yang sezaman dengan mereka yang memiliki kekuatan besar) atau disingkat Kitab Al-‘Ibrar.

Namun kebenaran Ibnu Khaldun justru karena Al-Muqadimah-nya, dan bukan karena Kitab Al-‘Ibrar-nya. Mengapa demikian? Tidak sukar untuk menjawabnya, karena seluruh bangunan teorinya sebagai ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah tersirat dalam Al-Muqadimah. Kitab Al-‘Ibrar adalah buku empiris-historis dati teori yang telah dikembangkan.[2]

Bila dirunut secara kronologis dan berdasarkan berbagai perjalanan, pengembaraan serta pribadi yang ditemuinya, maka secara umum kehidupannya dapat diklasifikasikan menjadi 4 fase:

Pertama, fase studi hingga berusia 20 tahun, atau tahun 1332 M hingga 1352 M. Fase ini dilalui di Tunisia.

Kedua, fase berkecimpung di bidang politik, agaknya fase ini berlangsung lebih dari 20 tahun, yaitu dari tahun 1352 – 1376 M.

Ketiga, fase pendidikan dan kontemplasi di benteng Ibnu Salamah milik Banu ‘Arif, fase ini berlangsung selama 4 tahun yang berakhir tahun 1380-an M.

Keempat, fase bergerak di bidang pengajaran dan peradilan. Ada kalanya pada fase ini berlangsung untuk mengajar saja, yaitu ketika di Tunis dari tahun 1380 M sampai tahun 1384 M ketika Ibnu Khaldun menetap di Mesir. Keduanya ia lakukan ini berlangsung dari 1384 M sampai 1406 M atau sampai ia meninggal dunia pada usia 74 tahun.[3]

Dengan kenyataan ini sebenarnya apa yang disimpulkan Ibnu Khaldun lebih terbatas. Ruang lingkupnya di Afrika Utara dan pada beberapa dinasti Arab-Muslim. Lebih jauh penjelasan berdasarkan ringkasan Fuad Baali di bawah ini:

Menurut Ibnu Khaldun, kemunculan sebuah bangunan kekuasaan akan menimbulkan anarki, dan anarki pada gilirannya akan menghancurkan peradaban. Proses kehancuran ini berjalan melalui masa transisi dari kehidupan primitif (nomadisme), ruralisme menuju kehidupan hadhara (urbanisme).

Perubahan ini terjadi akibat masyarakat nomas tergoda oleh kemewahan kota yang serba menggairahkan.

Pemimpin mereka berusaha menarik berbagai ashabiyah di sekitarnya sebelum melakukan serangan terhadap negara tetangga. Bila serangan itu berhasil, maka diatas reruntuhannya itu dibangun sebuah negara baru. Proses itu berlangsung terus sebagai sebuah siklus, selama ada kontak antara masyarakat nomas dengan penduduk kota.

Diteorikan lebih jauh bahwa perkembangan sebuah negara mengalami 5 fase:

Pertama, saat mengalahkan musuh dari lawannya. Pada fase ini penguasa dijadikan model oleh para pengikutnya dalam hal memungut pajak …… pada fase ini penguasa tidak menjauhi dari pengikutnya.

Kedua, penguasa memerintah secara otokratik dan mulai dan mulai menjauhkan diri dari pengikutnya. Diciptakanlah fasal-fasal dan pengikut baru demi melemahkan posisi para pemegang ‘ashabiyah dan keluarga dekat yang mengklain sebagai sejajar dengannya dalam memerintah negara. Pada fase ini penguasa didukung oleh sejumlah kecil individu yang asing, tidak punya hubungan darah atau hubungan suku dengannya.

Ketiga, adalah fase bersenang dan fase kesenangan untuk hidup mewah dan kesukaan membangun monumen. Penguasa menggunakan seluruh kekuasannya untuk menarik pajak, mengatur pendapatan dan pengeluaran .

Keempat, adalah fase bahagia dan damai, bahkan dengan pihak musuh, penguasa sudah merasa puas dengan apa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulunya yang senantiasa dijadikan contoh. Inilah klimak dari sebuah perjalanan kekuasaan.

Kelima, adalah fase pemborosan dan kemewahan. Pada fase ini penguasa menghancurkan apa yang telah dibangun oleh para pendahulunya demi mengikuti nafsu, kesenangan dan sikap pemurah terhadap lingkaran intinya. Pada fase ini, ia dikelilingi oleh teman-teman palsu dan orang-orang jahat yang dipercayainya untuk menangani tugas negara sedangkan mereka tidak becus untuk itu.[4]

Dalam kaitannya dengan analisis makalah ini, penulis menitikberatkan kepada suatu bentuk pernyataan, yaitu kepada suatu gagasan Ibnu Khaldun sebagai salah seorang penulis ilmu sosial modern yang dalam Al-Muqadimah di masukkan bagian dari Ilm al-Umran.

- Apakah hubungan ‘Ilm al-Umran dengan pemahaman dan penulisan sejarah.

3. Metode

Metode yang dipakai dalam makalah ini memberikan perhatian penuh kepada gagasan tentang sejarah dan peradabannya. Sedangkan pemikiran lainnya akan dilihat secara sepintas untuk menginformasikan kekayaan Ibnu Khaldun. Untuk itu secara sistematis penulis menyelami karier hidup Ibnu Khaldun serta lingkungan yang mengitarinya.

B. IBNU KHALDUN: TINJAUAN BIOGRAFI SINGKAT

Wali al-Din Abu Abdul Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, dikenal dengan nama Ibn Khaldun, lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Wafat di Kairo, Mesir pada 17 Maret 1406.[5]

Ibnu Khaldun adalah keturunan bangsawan dan tinggal di lingkungan kerajaan. Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Kemudian ia mempelajari bahasa dari sejumlah guru, yang terpenting adalah Abu Abdullah Muhammad ibn ‘Arabi Al-Itasyahyiri dan Abu Al-Abas Ahmad Ibn Al-Qushshar serta Abu Abdillah Muhammad ibn Bah. Ia mempelajari hadits kepasa Syamsudin Abu Abdillah al-Widayashi Al-Qashir. Ia juga belajar ilmu kealaman, filsafat, matematika, teologi kepada Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abili.

Disamping besar perhatiannya terhadap gurunya, Ibnu Khaldun juga menyebutkan buku yang pernah ia pelajari. Buku-buku itu antara lain: Al-Lamiyah fi Qira’at dan Al-Ra’iyah karangan Al-Syattibi, Ulum Al-Hadits karya Ibn Al-Sholah. [6]

Masa pendidikan formal demikian dilakukan sampai pada usia 20 tahun. Barangkali terpengaruh pada hidup lingkungannya yang mengetahui seluk beluk politik, ia masuk ke kancah politik yang penuh pergolakan, tetapi juga selalu dekat dengan kekuasaan yang didukungnya. Misalnya, ia dekat dengan Abu ‘Inan, Raja Maghrib tengah yang berkuasa. Kendatipun berkiprah dalam politik, posisi yang disandangnya bukan sebagai menteri tetapi Ibnu Khaldun memilih dalam lembaga ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun tidak lepas dari fitnah orang terdekatnya sehingga ia pernah dipenjarakan dan dituduh sebagai penyebab kekalahan perang.

Pada usia sekitar 25 tahun, Waliudin menyaksikan perhelatan politik di daerahnya setelah ia menyaksikan bekas-bekas kehancuran Muwahidun. Wilayahnya diserang oleh Bani Marwan yang menyebabkan ilmuwan besar itu berpindah tempat tinggal. Atas ajakan gurunya, Ibnu Khaldun turut serta mengungsi ke Fez (Marko). Di Fez, Ibnu Khaldun bertemu dengan Sultan Ibnu Inan, dan diperkenalkan dengan ilmuwan terkemuka seperti Muhammad Ibnu Shafar, Muhammad Al-Maqqari. Ibnu Khaldun sempat menjadi sekretaris negara di Fez karena dipandang memiliki kemampuan menulis yang baik.

Atas persetujuan Raja Muhammad V, Ibnu Khaldun berangkat ke Afrika pada tahun 1365. Pada saat itu situasi telah jauh berbeda dengan negara-negara lain, yaitu perebutan kekuasaan dan kekacauan politik yang tak kunjung usia. Akhirnya Ibnu Khaldun memutuskan pindah lagi ke Fez pada tahun 1374. Penguasa senang atas kehadirannya, tetapi agaknya Ibnu Khaldun mulai pindah haluan dari politikus ke kerja ilmuwan. Di duga di sinilah Ibnu Khaldun mulai menulis karya Muqadimah.

Di tempat Qal’at Ibnu Salamah, ia menulis pengalaman dan pengamatannya secara teratur, kemudian menulis Kitab Al-‘Ibrar. Kemudian ia kembali ke Tunisia. Di Tunisia inilah ia menyelesaikan karyanya Al-‘Ibrar pada tahun 1382. Di Tunisia, Ibnu Khaldun mendapat informasi dari beberapa temannya bahwa jiwanya diincar oleh sekelompok orang yang akan membunuhnya. Kemudian ia pindah ke Mesir sambil menerbitkan dan merevisi buku-bukunya yang telah ia tulis sampai meninggal dunia.[7]

C. GAGASAN IBNU KHALDUN TENTANG SEJARAH DAN PERADABAN

A. Gagasan tentang sejarah

1. Sejarah mencakup dua hal

a. sisi luar : deskripsi tentang perputaran kekuasaan di masa lampau.

b. sisi dalam : penelitian kritis dan cermat untuk menemukan kebenaran (penggalian bagian man dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi).

Dari perspektif b, ia mengkritik karya sejarah Islam terdahulu (mis. Al-Mas’udi, hal. 857, dan Al-Bakri, w. 1094) yang menderita tujuh kelemahan pokok:

1). Sikap memihak kepada pendapat-pendapat mereka.

2). Terlalu percaya kepada penulis berita sejarah.

3). Gagal menangkap maksud apa yang dilihat dan didengar serta menyampaikan laporan atas dasar persangkaan.

4). Perkiraan yang tidak punya dasar.

5). Kebodohan dalam mencocokkan kenyataan dengan kejadian sebenarnya.

6). Kegemaran mendekatkan diri kepada pembesar dan orang orang berpengaruh tanpa kritik.

7). Ketidatahuan tentang hakikat situasi dalam kebudayaan.

2. Sejarah merupakan panggung moral karena itu ia terikar dengan filsafat.

3. Sejarah harus merupakan diskripsi yang utuh karena itu ia terkait dengan sosiologi dan antropologi ( )

B. Gagasan tentang masyarakat dan peradaban

1. Prinsip dasar

1.1. Fenomena sosial budaya tunduk pada hukum, walau tidak semutlak hukum alam.

1.2. Huku bekerja atas dasar dukungan massa dan tidak dapat dipergunakan secara signifikan oleh individu-individu dengan terpisah.

1.3. Hukum itu dapat ditermukan dengan menyimpulkan sejumlah fakta atau dengan mengamati persamaan-persamaan dan urutan-urutannya.

1.4. Hukum itu umumnya berlaku untuk semua masyarakat (peradaban) dengan jenis struktur yang serupa.

1.5. Masyarakat dan (peradaban) tidak statis, bentuk sosial budaya berubah dan dinamis melalui fakta utamanya kontak sosial antar individu dan kelas yang berbeda.

1.6. Faktor sosial budaya lebih menentukan perubahan masyarakat (peradaban daripada faktor lingkungan fisik).

2. Beberapa hukum/teori sosial budayanya.

2.1. Tipologi/evaluasi masyarakat (arab)

Badawah Hadarah

- Berpindah - Menetap

- Hidup sederhana - Hidup merwah

- Ashabiah kuat - Ashabiah rendah

2.2. Hubungan antara kekuasaan (negara) dan peradaban kekuasaan

lemah/runtuh à anarkhi à peradaban hancur

kekuasaan kuat àstabilitas à peradaban maju

D. IBNU KHALDUN DALAM KONTEKS INTELEKTUALITAS PERADABAN KLASIK DAN MODERN

Sebagai siswa yang pandai, Ibnu Khaldun di masa mudanya yang agak tenang, mungkin terpuaskan oleh keasikan belajar. Tetapi masa tuanya ditandai oleh kekacauan-kekacauan politik yang mengguncangkan pikirannya. Salah satu faktor yang menyebabkan Ibnu Khaldun tahan menderita adalah kecenderugannya sebagai intelektual dan praktisi yang tidak mudah untuk didamaikan. Tokoh yang berpengetahuan luas ini harus menghormati dan mengagumi kehalusan peradaban dan kehidupan kota, tetapi ia juga memiliki ciri rasa angkuh dan individualis.

Dalam bidang politik, Ibnu Khaldun adalah negarawan yang kurang beruntung. Hampir usahanya dalam bidang politik dan kedekatannya dengan kekuatan gagal di tengah jalan. Hal ini dijadikan salah satu alasan bagi ilmuwan yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang pesimis.

Fatalisme dan pesimisme hadir dalam setiap halaman Muqadimah seperti halnya seorang penulis modern yang mengatakan pengalaman adalah lentera yang menerangi jalan yang ditempuh. [8]

Kegagalan bagi Ibnu Khaldun menggugah rasa keingintahuan dan berusaha menguak hanya fenomena-fenomena sejarah, tetapi juga faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan itu. Demikian juga mekanisme yang mengantar orang-orang tertentu naik ke panggung kekuatan politik.

Dari catatan diatas bisa dilacak kesungguhan Ibnu Khaldun untuk merumuskan suatu ilmu tentang sejarah dan peradaban. Ilmu baru yang ia rumus ini dikemudian hari disebut dengan berbagai nama sesuai dengan kehendak penulis atas pemikiran Ibnu Khaldun.

Ada sementara orang menyejajarkan Ibnu Khaldun dengan Machiavelli, Montesqieu dalam teori kenegaraan. Dalam sosiologi, gagasan Ibnu Khaldun tentang Ilm’ Umran tidak diragukan lagi orisinalitasnya. Ilm ‘Umran memuat prinsip-prinsip ilmu sosial yang di barat baru dikembangkan sejak abad ke-18 oleh tokoh-tokoh seperti August Cone, Hebert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dll.

Selanjutnya tentang posisi Ibnu Khaldun dalam jajaran sosiolog modern, Dauoadi menyejajarkan beberapa dualistipologi suatu persekutuan masyarakat dalam sosiologi modern dikenal adanya persekutuan masyarakat. Dalam sosiologi modern dikenal adanya persekutuan gemeinschaft dan gesselchaft (Ferdinand Tonnies). Mechanic dan organic solidarity society (Durkheim), prymary dan secondary group society (Gooly), jauh sebelum mereka Ibnu Khaldun membuat tipologi masyarakat badui – nomaden dan masyarakat kota.

A Lyson menempatkan posisi Ibnu Khaldun dalam pembahasan individu dan masyarakat diantara sederetan sosiologi dan filosof seperti Thomas Aquinas, Thomas Hobes, dll. Bahkan Lysen menempatkan posisi sentral Ibnu Khaldun diantara tokoh-tokoh tersebut menulis:

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita bertemu seorang pujangga yang mencoba memecahkan masalah sosial dengan cara berfikir bebas dan atas dasar ilmu pengetahuan. Usahanya pun amat baik hasilnya, sehingga berbagai ajarannya karena berdasarkan penyelidikan atas faktor-faktor dengan cara sangat mendalam, sekarangpun masih dapat diakui kebenarannya”[9]

Pada awal abad modern, dikalangan barat memang terjadi penindasan dan perkembangan filsafat sejarah dan ilmu-ilmu sosial yang sedikit banyak mengadopsi gagasan-gagasan Ibnu Khaldun. Muqadimah merupakan cahaya terakhir yang melontarkan apa yang lazim disebut Renasaince Arab.

Akan tetapi hal itu tidak terjadi di dalam dunia Islam. Bahkan Philip K. Hitti sambil memuji Ibnu Khaldun yang secara halus mengatakan bahwa Ibnu Khaldun dilahirkan pada zaman dan tempat yang salah. Ibnu Khaldun tampil terlalu lambat untuk bisa membangkitkan responsi dikalangan umatnya sendiri yang tidur nyenyak dalam abad tengahnya, atau untuk menemukan calon penerjemah di kalangan Eropa. Ia tidak mempunyai pendahulu dekat dan tidak pula punya penerus. Tidak ada lairan pemikiran Khalduniyah (Khaldunisme). Karirnya yang melejit itu menyinari sepanjang Afrika Utara hampir tanpa meninggalkan berkas cahaya di belakangnya.[10]

E. GAGASAN IBNU KHALDUN DI DUNIA BARAT

Ide-ide konstruktif Ibnu Khaldun yang mengilhami lahirnya ilmu-ilmu sosial modern serta menjadikannya luput dari kritik negatif sejarawan di belakangnya. Tetapi gagasan tersebut seolah sia-sia, dan tak mendapat sambutan dari para ilmuwan dunia Islam, karena pada masa dan setelah Ibnu Khaldun adalah masa kemunduran, yang kemudian banyak tradisi peradaban Islam itu masuk ke Barat, sampai unggulnya peradaban barat itu, dan kemudian kemenangan mereka atas kaum muslim. Di barat itulah kemudian ilmu sosial yang dirintis Ibnu Khaldun menemukan sambutan yang bersemangat.

F. PENUTUP

Di atas diuraikan sosok Ibnu Khaldun dan pemikirannya/gagasannya. Dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial modern, Ibnu Khaldun dalam temuannya berupa ilmu al-‘Umran yang empiris dan sistematis tidak diragukan lagi sebagai perintis awal ilmu-ilmu itu.

Adapun mengenai hubungan sejarah dari ilmu al ‘uman dapat dijelaskan bahwa yang terakhir berfungsi sebagai pelayan sejarah dalam membantu filsafat politik untuk mencapai tujuan, yaitu keteraturan negara dan ketenangan kehidupan bermasyarakat.

Akhirnya, karir hidup Ibnu Khaldun menunjukkan bahwa selama terlibat dalam fluktuasi politik yang serba panas ia berpisah dengan politik. Ia muncul sebagai seorang yang jujur, adil, dan objektif. Sifat-sifat ini dibawanya sampai ia wafat pada awal abad ke-15 Masehi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996

A. Lysen, Individu dan Masyarakat (Terjemah), Bandung: Sumur Bandung, 1964

Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997

Osman Raliby, Ibnu Khaldun: Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Fuad Baali, Society, State and Urbanism: Ibn Khaldun Sociological Thought. New York: State University of New York Press, 1988. h. 69-71

Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Jakarta: Grafiti Press, 1985


[1] Ahmad Syafi’i Maarif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. hal. 3

[2] Ibid, hal. 24-25

[3] Osman Raliby, Ibn Khaldun: Tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), hal. 13-41. Osman hanya mengedit sebagian kecil dari buku Muqodimah.

[4] Fuad Baali, Society, State and Urbanism: Ibnu Khaldun’s Sociological Thought. New York: State University of New York Press, 1988, hal: 69-71

[5] Muhammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Work. New Delhi: Kitab Bharan, 1994, hal:3

[6] Ali Abdulwahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya (penterjemah Ahmadi Thaha), Jakarta: Grafiti Press, 1985, hal: 3

[7] Ibid foot note 3

[8] Ibid footnote 1 hal. 31

[9] Al. Lysen, Individu dan Masyarakat (Terjemah), Bandung: Sumur Bandung, 1964, hal. 49-50

[10] Sebagaimana disinyalir Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 10

1 komentar:

dwisuka mengatakan...

Terima kasih, Pak, ilmunya, selama ini saya hanya tahu Ibnu Khaldun dari nama saja.

Sayang, beliau jarang disebut dalam text2 pelajaran/kuliah. Akibatnya nama Montesque, Thomas Hobbes, Karl Mark dll lebih dikenal daripada beliau.

(http://dwiliz.blogspot.com)