Sabtu, 17 Juli 2010
Islam and The Cultural Accommodation of Social Chage
PERGERAKAN SEJARAH ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL Judul Artikel : Islam and The Cultural Accommodation of Social Chage Penulis : Dr. Amir Mahmud,S.Sos, M.Ag Nama Buku : Islam and The Cultural Accommodation of Social Change Editor : Bassam Tibi Penerbit : West View Press, Boulder, San Fransisco & Oxford Tahun : Cetakan I, 1991 Tebal : xiv + 272 Teori Determinasi Sejarah Menurut filsafat yang berlaku dewasa ini, sejarah merupakan gerakan sosial yang berlangsung menurut jalur tunggal tertentu, yang tak bisa tidak bertolak dari satu titik menuju titik lain yang lebih maju. Manusia dapat mempengaruhi pergerakan ini dengan mempercepat atau memperlambat tempo, tetapi tak memiliki kekuatan untuk menghentikan atau mengubah arahnya. Barang siapa mencoba menghentikan atau mengubah arahnya, maka ia tergolong kaum revolusioner. Sedang mereka yang mendorong dan mempercepatnya disebut kaum progresif. Barangsiapa ingin sesuatu dalam kenyataan, maka harus memahami sifat pergerakan sejarah dengan baik. Ia harus mampu menduga arah perkembangannya di masa mendatang, dan kemudian mengarahkan cita-citanya dengan tahapan sejarah itu dan mengarahkan semua usahanya ke sasaran yang hendak dituju oleh gerakan sejarah itu. Jika tidak, maka hari-harinya akan hilang dalam usaha reaksioner yang sia-sia. Bossam Tibi memberikan gambaran: “Kita telah menyinggung tentang diversitas budaya dalam Islam, serta mempermasalahkan gagasan tentang Islam yang harus ditemukan secara sama, walaupun adanya motif-motif yang berbeda dengan berbagai tingkat penekanan yang berbeda baik dalam polemik anti Islam maupun dalam apologia fundamentalis tentang Islam itu sendiri: simbol-simbol Islam tergantung pada waktu dan tempat, dan bentuknya bervariasi menurut waktu dan tempatnya” (hal. 32) Kita tahu bahwa kaum komunis menganut pandangan seperti itu. Tetapi ternyata bukan mereka sendirilah yag bersikap demikian. Diantara mereka termasuk juga orang-orang barat dan orang-orang yang telah terkuatkan, yang beranggapan bahwa tahapan yang telah dicapai oleh barat, khususnya Amerika Serikat, secara keseluruhan, adalah suatu tahapan lebih maju, baik secara material maupun kultural. Sikap seperti itu, baik dalam bentuk komunistis, maupun dalam mantel Baratnya, yang memiliki banyak pengikut di dunia muslim, memandang proses pengisalaman sebagau sesuatu yang sia-sia. Bagi orang-orang komunis, kecenderungan sejarah mengarah ke Uni Sovyet dan ke negara komunis ideal, dan bagi agen westernisasi, ke Amerika Serikat. Teori Islam tentang Perubahan Sosial Cara terbaik untuk memperkenalkan filsafat Islam tentang perubahan, yang dalam bimbingannya, kita mesti melaksanakan proses pengislaman, adalah dengan jalan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat terkenal berikut ini: إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d : 11) Ada empat hal yang dapat ditemui dalam ayat ini, yaitu: 1. Tuhan yang memiliki kebesaran berkehendak secara mutlak. 2. Manusia yang kebebasan berkehendaknya terbatas. 3. Suatu perubahan yang diupayakan oleh manusia dalam dirinya. 4. Suatu perubahan kondisi manusia yang dilakukan oleh Allah sebagai hasil perubahan dalam diri manusia. Keempat hal tersebut diatas membentuk penjelasan Islam tentag perubahan sosial. Isu penting dalam Islam kontemporer memberikan perhatian terhadap masalah sejarah dalam kasus ini hubungan antara Islam dengan pembangunan perlu diklarifikasikan menjadi dua lingkup umum dan dibahas sendiri-sendiri. Pertama, isu fundamentalis mengenai Islam modern sulit untuk dibahas tanpa merujuk pada bentuk awal sistem keagamaan ini. Kedua, Islam kontemporer pun tidak dapat diinterpretasikan tanpa mempertimbangan konfrontasinya dengan Eropa lebih tinggi dan oleh karena itu menguasai. (hal. 33) Superioritas budaya timur terjadi Islam vis a vis Eropa selama era kerajaan Islam. Bangsa Arab dan ancaman militer dan politik yang kemudian mucul terhadap dan politik yang kemudian muncul terhadap Eropa yang disebabkan oleh invasi Turki Utsmani, telah digantikan oleh dominasi Eropa pada skala global dalam bidang budaya, politik, dalam hubungan baru antara Islam dengan Eropa in terdapat pula perubahan yang sejalan dalam konsep Islam tentang pembangunan. (Hal. 33 – 34) Maka dari keempat hal tersebut di atas dapat diterangkan / dibahas secara ringkas implikasi-implikasinya. 1. Bukti pertama, yaitu kebebasan berkehendak mutlak Allah, membedakan konsepsi kita tentang perubahan sosial dari teori-teori perubahan sosial materialistis dan naturalisasi mereka beranggapan bahwa Allah itu tidak maujud dan karenanya, berpandangan bahwa dunia ini bisa mencukupi diri, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa seluruh fenomena yang terjadi di dunia ini, baik yang bersifat sosial atau lainnya- cukup dapat dijelaskan dengan hukum yang berkenaan dengannya. Sayang sekali pandangan ateistis ini disamakan dengan metode ilmiah sedemikian, sehingga suatu rujukan kepada Allah dan menjelaskan fenomea alam segera saja akan disingkirkan sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, bukan sekadar tidak atestis. 2. Menunjukkan keunggulan konsepsi kita tentang perubahan sosial atas teori-teori determinasi yang beranggapan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan memilih yang sebenarnya, dan bahwa segala sesuatu yang dilakukannya, dipisahkan atasnya oleh suatu kekuasaan ilahi atau oleh sebab alamiah atau sosial. 3. Memberitahukan kepada kita tentang suatu perubahan yang dihasilan oleh manusia di dalam dirinya sendiri. Kini, hampir semua orang memahami ayat ini seperti demikian, jika masyarakat berubah dari baik menjadi buruk. Tuhan menghendaki mereka dengan mengubah keadaan mereka dari baik menjadi buruk dan sebagainya. 4. Menjelaskan kepada kita bahwa jika suatu masyarakat berubah sedemikian Tuhan menghukum mereka dengan menarik dari mereka beberapa anugerah spiritual dan material yang telah diberikannya. Inilah filsafat kita tentang perubahan sosial, sekarang telah menjadi jelas. Bangsa-bangsa tidak bangkit dan jatuh berantakan secara sembarangan dan tanpa suatu hukum yang mengalir kelahiran dan kematian mereka. Sejarah bukanlah suatu alur tuggal yang mau tak mau mesti dilalui oleh setiap bangsa. Dunia sosial kita diatur oleh penciptanya yang menyebabkan bangsa-bangsa bangkit dan jatuh, makmur atau melarat, menang atau terkalahkan sesuai dengan moral rasa syukur. Hal ini didasari penjelasan teoritis tentang kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa ini bisa menolong kita menemukan jalan untuk mengislamkan masyarakat. Pertama, mengingat bahwa pengislaman mesti direncanakan berdasarkan ramalan-ramalan kita tentang kejadian di masa mendatang, maka penjelasan Al-Qur'an tentang perubahan sosial menolong kita untuk melihat ke belakang kepada tirai kekuasaan fisik suatu bangsa. Kedua, dengan pengetahuan bahwa keakraban dengan Tuhan adalah rahasia keberhasilan, maka kita mesti memudahkan untuk melakukan segala sesuatu yang membawa untuk mencapai tujuan itu. Situasi historis saat Islam datang ditandai oleh tidak adanya kesatuan pada level politik dunia. Dua kerajana besar yaitu Byzantium dan Sasanid di Persia dalam kondisi perang. Pada level keagamaan pada saat itu sama-sama bersaing. Sementara orang Arab, yang pada saat itu adalah politis tidak memiliki struktur negara sendiri yang terlepas dari perbudakan. Arab yang merupakan kekuatan dunia saat itu dan di organisir di jazirah Arab diantara suku nomaden. (hal. 34) Hal ini berlaku atas keinginan kita akan suatu model negara muslim, karena menciptakan suatu negara seperti itu memang merupakan tujuan-tujuan Nabi ketika berada di Makkah, maka sejarah dan hadits-haditsnya yang sahih mesti dipelajari di samping Al-Qur'an. Kepentingan Mendasar Pembangunan Islam Membentuk Negara Madinah Berdasarkan sirah Rasul terlebih dahulu diketahui membenarkan pernyataan bahwa tujuan Nabi sebagai persuruh Allah adalah untuk menyampaikan risalahnya kepada abdi-abdinya, tetapi juga benarlah kita mengatakan bahwa usaha untuk menciptakan negara Islam seperti itu adlaah satu bagian penting dari pesan itu. Setelah Nabi Muhammad saw hijrah dari Makkah sebagai akibat penganiayaan politik pada tahun 622, maka di Madinah beliau mendirikan struktur politik Islam yang pertama, yang prinsip dasarnya diletakkan pada aturan kota Madinah (municipal code of Madinah) landasan tauhid inilah merupakan kunci dari tatanan politik ini, Islam mengintepretasikan dirinya sebagai monoteisme yang tegas, tidak mengenal komponen “laa ilaaha ilallah” yang tidak mengaku otoritas lain selain Allah, baik di langit atau di bumi Allah bukanlah tuhan orang Arab, orang muslim, sebagaimana dapat dibaca dalam polemik pada abad pertengahan mengenai Islam. Atas dasar doktrin Islam tentang keesaan, orang muslim mengintepretasikan negara kota Madinah sebagai satu fondasi tatanan politik universal yang dipimpin oleh Islam. Situasi historis yang ada pada saat Islam ditetapkan dimana manusia terbagi atas sejumlah komunitas keyakinan yang monoteistik (Yahudi dan Nasrani) dari politeistik (Arab pagan), telah mendorong Islam untuk menegaskan bahwa Islam membawa kesatuan yang defensif dengan risalahnya. Dengan demikian, sasaran pengembangan pembangunan manusia dimana menjadi komunitas monoteistik yang bersatu. (hal. 34 – 35). Maka penulis (Bassam Tibi) dalam beberapa penelitian agama yang berorientasi pada sosiologi cenderung ke arah reduksianisme yang menolak otonomi parsial agama dengan tanpa ragu menempatkan agama itu sebagai sistem budaya dalam suatu hubungan hausal yang level perkembangan dari masyarakat masing-masing. Penerimaan akan Islam selama pendirian negara kota Madinah meminta ketundukkan terhadap Tuhan dan pengakuan akan Rasulnya Muhammad sebagai sebagai penengah. Sejak saat itu, penerimaan akan Islam juga meminta pengakuan akan Al-Qur'an sebagai firman Tuhan yang mutlak dan definitif dan sunnah (tradisi) Nabi dan Rasul ini adalah ciri Islam. Sasaran pengembangannya dinyatakan menjadi ciri masyarakat internasonal. Kenyataan bahwa Nabi berkeinginan untuk menciptakan/ membangun suatu negara muslim tampak usahanya untuk mengislamkan individu, ia juga berusaha sekuat mungkin untuk menegakkan kekuasaan atas suatu masyarakat yang terorganisasikan dan bebas, sebagai pilar kepercayaan ini, demi mencapai tujuan itu, ia biasa melakukan kontak dengan pimpinan-pimpinan berbagai suku, khususnya pada perayaan-perayaan tahunan di Makkah akhirnya dua suku di Madinah, al-Aus dan al-Khazraj menerimanya dan menjadikan adanya kemungkinan untuk mendirikan negara muslim pertama di tanah mereka. Dari penjelasan ini jelas bahwa di salah saru sisi sasaran Islam dalam pembangunan Islam di Madinah dengan membentuk sebuah negara menjadi model abadi memperjelas bahwa perkembangan untuk waktu yang akan datang di orientasikan menurut cita-cita masa lalu yaitu undang-undang kota Madinah (Pax Islamical). ( hal. 35) Dengan demikian secara ringkas bahwa pergerakan sejarah Islam dan perubahan sosialnya diawali dengan bentuk ibadah yang didasari nilai tauhid yang diimplikasikan dalam perubahan sosial yang saling interaktif pada sebuah kota Madinah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar