ISLAM DAN PERADABAN MODERN
by. Dr. Amir Mahmud
I. PENDAHULUAN
Menurut deskripsi H.A.R. Gibb, orientalis Inggris, Islam adalah “demokrasi spiritual yang mutlak”.[1]
Mengkaji Islam adalah wajib bagi setiap individu, sebagaimana ibadah itu sendiri. Bahkan seorang pemikir dalam ruang refleksinya, dan seorang cendekiawan dengan intelektualitasnya, sama-sama berdekatan secara seksama kepada Allah l, melalui perenungan dan kajian, sebanding dengan taqarrub seorang hamba dalam shalat dan puasanya. Apabila Islam dipahami dalam perspektif demikian, Islam merupakan pencerah gerakan pemikiran, sekaligus penghantar bagi para gerakan peradaban.
Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak benar dan tidak berubah. Paham mutlak benar dan tidak berubah-ubah ini mempunyai pengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku pemeluknya. Oleh karena itu, umat beragama tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku. Dari kenyataan ini timbulah anggapan bahwa agama menentang perubahan dan menghambat kemajuan suatu masyarakat.[2]
Dalam hal ini, Al-Qur'an telah memberi persepsi baru dalam membuka forum dialog azali antara Allah l dengan manusia, sedangkan esensi-esensi budaya itu sendiri sebenarnya terjadi dari dialog nilai wahyu (antara manusia dengan khaliqnya), manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Tentu saja, Islam akan menjadi sistem kebudayaan kreatif sepanjang iklim dialog ini terbuka.
Sebaliknya kreativitas budaya akan berhenti jika dialog dan ijtihad tertutup. Karenanya, perjuangan Islam dalam era modern tidak sekedar perjuangan pembebasan untuk kemerdekaan saja, lebih dari itu adalah perjuangan gerakan kreativitas dengan paradigma dialog serta ijtihad.
Allah telah berfirman dalam QS. 28/88 :
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Segala sesuatu akan musnah kecuali wajah-Nya (Allah)”.
Akhirnya segala sesuatu pasti menerima perubahan kecuali subtansi (Dzat) Allah, hekekat dan kalimatnya yang luhur dan absolut. Tentunya, apa saja yang kita dapati dari keluhuran dan spiritualitas itu, semua justru dari kebijakan Allah l yang mutlak. Sedangkan hal-hal yang selalu melingkupi perubahan kita ini, semata memang kenyataan alamiah kita.
Dengan paradigma diatas, kita memaparkan tema tersebut bagi diri kita dalam ikatan penuh. Karena bagi Islam, menghadapi kehidupan modern akan memunculkan berbagai dimensi dan perspektif berupa tantangan-tantangan yang bersifat historis, ideologis, saintis dan moralitas. Kehadiran Islam berarti memberikan solusi atas tantangan-tantangan tersebut.
Sebaliknya jika Islam tidak eksis secara fenomenal, Islam justru akan dilindas oleh dinamika kehidupan. Dengan hanya mewarisi tradisi masa lampau, sebagai realitas kehidupan hari ini, atau bahkan kehidupan hari esok, maka cita-cita (Islam) diatas sulit terwujud.
Oleh karena itu pula, Islam menjadi tantangan terbesar bagi modernitas. Tantangan yang sekaligus saling berhadapan diantara 2 jiwa dan watak-watak spirit Islam yang teomorfis dengan perilaku budayanya yang religius, berhadapan dengan spirit modernitas peradaban rasional dengan watak saintifikasinya.[3]
Modernisme itu sendiri merupakan hasil dari perubahan-perubahan tertentu dalam ciri pemikiran agama dan argumen yang setuju atau menentang terhadap modernisme itu erat hubungannya dengan sikap terhadap akar-akar struktur kepercayaan dan amalan umat Islam.
Sumbangan akibat benturan umat dengan peradaban Barat telah menimbulkan keragaman dalam sikap pemikiran di dunia Islam,sikap itu adalah: Perbaikan (pemikiran Islam) dan Modernisme.
Suatu hal yang sulit dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan adalah ketegangan-ketegangan dan bahkan konflik yang muncul mengiringi perkembangan itu. Disatu pihak ketegangan itu muncul oleh suatu keharusan mempertahankan segi Doktrinal norma agama dalam situasi dunia yang selalu berubah,sementara dipihak lain ketegangan lahir oleh proses sosiologis. Ketegangan itu terlihat dari polarisasi Visi yang dikedepankan kaum Tradisionalis, Modernis.
II. PERMASALAHAN
Kontradiksi 2 peradaban tersebut berjalan dalam ruang lingkup konflik psikologis kepribadian muslim, sejak gerakan peradaban di akhir abad XVIII. Kedua konteks tersebut menyembul pada pola pikiran dan kepribadian para pemikir Islam, secara dualistik kepribadian yang pada gilirannya menuntut modernitas dengan tetap meyakini tradisi pada satu sisi, sementara mayoritas umat Islam lebih cenderung dengan sistem tradisionalnya daripada memakai pendekatan modern pada sisi lain. Lalu muncullah dua jurang pemisah, di satu pihak bercokol pada paradigma para pemikir muslim dengan gaya pemikiran dan keyakinan keagamaannya dan di pihak lain adalah iklim yang menimpa masyarakat muslim dalam berhadapan dengan pemilik tertentu dengan umumnya kaum beriman.
Persoalan tersebut, terkadang asing, karena Islam telah memberi kesempatan modernisasi sejak berakhirnya abad XVIII hingga sekarang ini. Para reformis seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Amin Abdul Qadir al-Jazairy, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dll, telah membuka penafsiran ijtihad secara formulatif bagi kehidupan modern. Suatu rekayasa ijtihad yang meberi dukungan solusi bagi tuntutan modernitas.[4]
Pemisahan antara kita dengan peradaban modern pada hakikatnya bukan pemisahan yang bersifat parsial, namun justru pemisahan total yang direkayasa. Tidak telah berjumpa dengan monotheisme, rasionalisme Yunani dan saintisme timur dekat serta estetika India yang melahirkan peradaban dengan spirit ketuhanan dan moralitas.
Sementara monotheisme dan rasionalisme Yunani, konstitusi Romawi lekat dengan jantung Eropa, yang membuahkan spirit peradaban ilmiah dan estetika. Lalu dimanakah tempat pertemuan dua peradaban tersebut dengan jiwa Islam dan kehidupan Islam kontemporer?
Apakah pertemuan tersebut berdampak destruktif yang mematikan, atau sebaliknya saling menghidupkan secara lestari, saling menyayangi, bahkan saling memperbaharui secara kreatif?
III. TUJUAN
Sesuai rumusan masalah penelitian bertujuan mengkaji tradisi klasik atau tradisional dan rekonstruksi yang sempat terbengkalai dan tidak dilimpahkan kepada generasi berikutnya.
IV. ALIRAN-ALIRAN MODERN DI KALANGAN UMAT ISLAM
Alam Pikiran Modern
Kata “modern”, “modernisme” dan “modernisasi”, seperti kata lainnya yang berasal dari barat, telah dipakai dalam masyarakat baru. “Modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, istitusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tekonologi modern.[5]
Modernisme atau pikiran dan aliran modern -yang dikenal sebagai the age of reason atau enlighment, yakni masa pemujaan akal dan ilmu- di barat timbul sekitar 1650 – 1800 sebagai kontak antara Barat dengan Islam. Maka pada abad ke 19 timbullah perbagai pemikiran para intellegen Muslim tentang Islam dan nisbahnya dengan pelbagai persoalan modern yang tumbuh di timbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknik baru.[6]
Paham-paham ini mempunyai pengaruh besar pada masyarakat Barat, dan segera memasuki lapangan agama yang dipandang Barat sebagai penghalang kemajuan. Modernisasi dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan agaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Di Barat aliran ini akhrinya melahirkan sekulerisme.
Periode klasik biasanya dihitung dari mulai lahirnya Islam sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu, cucu Jengis Khan, yaitu antara tahun 650 sampai 1250 M. Pada zaman inilah dunia Islam berkembang ke Barat sampai ke Spanyol, ke Timur sampai ke India. Di masa ini pula terjadi antara Islam dan kebudayaan Barat, atau tegasnya antara Islam dengan filsafat dan kebudayaan Yunani klasik yang terdapat di Mesir, Suriah dan Persia.[7]
Pembabakan Sejarah Islam
Harun Nasution dalam kertas kerjanya membagi 15 abad sejarah Islam ini atas 3 periode besar, yaitu:
1.1. Tahun 650 – 1250, Periode Klasik, yaitu terbagi atas 2 masa, yaitu:
(i). Masa ekspansi, tahun 650 – 1000, integrasi dan keemasan Islam dan dengan demikian merupakan masa kejayaan Islam I.
(ii). Tahun 1000 – 1250, masa desintegrasi
1.2. Tahun 1250 – 1800, Periode Pertengahan, yang terbagi atas 2 fase, yaitu:
(i). Masa kemunduran I, tahun 1250 – 1500
(ii). Masa 3 kerajaan besar, tahun 1500 – 1800, yang terbagi atas 2 fase:
a. Tahun 1500 – 1700, fase kemajuan dan merupakan kemajuan Islam II
b. Tahun 1700 – 1800, kemunduran dan merupakan kemunduran Islan II
1.3. Tahun 1800 - , Periode modern.[8]
Aliran Modern di Turki
Abad ke-18 dipelopori oleh : Ibrahim Mutafarika
Sadik Rifa’at Fasya (1807 – 1856)
dipengaruhi oleh Egalite, Liberte dari Revolusi Perancis.
Aliran Modern di Mesir
Tahun 1805, dipelopori oleh : - Muhammad Ali
- Rifa’ah Badawi at-Tahtaawi (1801 – 1873), mengarang buku-buku tentang pengalamannya di Paris.
- Jamaluddin al-Afghani (1839 – 1897) peletak dasar Pan-Islamisme
- M. Abdud (1849 – 1905), murid Afghani, mengembalikan kemurnian Islam.
Muridnya: - Rasyid Ridha
- Mustafa A. RAziq
Aliran Wahabisme di Saudi Arabia
Abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahab (1707 – 1787) mengembalikan umat Islam kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Aliran Modern di India dan Pakistan
Tahun 1817 – 1898 : - Sir Sayyid Ahmad Khan, menentang taqlid dan menggalakkan akal.
- M. Irbal (1876 – 1938), ahli fiqh dan penyair
- Abul A’la Maududi[9]
Dalam kancah pergumulan pembaruan pemikiran keagamaan secara polaritatif ada 2 aliran pemikiran besar yang sama-sama menuju pada pencerahan Islam, yaitu:
Pertama, kelompok Islamisme mewakili kelompok militan fundamental yang meyakini bahwa kebesaran umat Islam tergantung kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali pada ajaran inti Al-Qur'an dan Sunnah sebagai penekanannya.
Kedua, kelompok sekulerisme mewakili kelompok reformis-modernis yang meyakini bahwa Islam adalah agama peradaban (hadhari), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur peradaban lain. Untuk itu ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan diperibarui agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman.
Secara sederhana dapat dikatakan dari proyek Hasan Hanafi yang terkesan Al-Turats wal Al-Tajdid (Tradisi Klasik dan Rekonstruksi) beliau meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban, bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari 3 akar pilar pijakan berfikir, yaitu kemarin (al-madli) yang dipersonifikasikan dengan turats qadim (khasanah klasik), esok (al-mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khasanah barat) dan sekarang (al-hali) yang dipersonifikasikan dengan al-waqii (realitas kontemporer).
Korelasi diantara ketiganya (khasanah klasik, barat dan realitas kontemporer) sangat kuat sehingga antara satu dengan lainnya tidak mungkin dipisahkan. Disinilah proses terjadinya akulturasi.
Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa turats telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme yang mencengkeram akibat ulah tangan-tangan penguasa.[10]
V. ESENSIIL ISLAM DAN MODERNISME
Penulis memberikan pengertian tersebut diatas sebagai berikut:
- Islam : - adalah agama fitrah, yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. 30 : 30)
- adalah agama hidup dan menghidupkan, agama yang meng-up grade (meningkatkan taraf) kehidupan dan penghidupan manusia yang hidup
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. 8 : 24)
- adalah agama ishlah (pembinaan dan perbaikan), ishlah dalam lapangan aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak.
- Modernisme adalah faham tentang modernisasi, modernisasi adalah suatu proses aktivitas yang membawa kemajuan suatu masyarakat.
- dari stabil ke dinamis
- dari tradisional ke rasional
- dari feodal ke kerakyatan
Modernisme dan modernisasi seperti tersebut di atas sejalan dengan nafas Islam.
Oleh karena itu dalam konteks tersebut, bukan hanya menerima modernisme dan modernisasi (dalam pengertian di atas), melainkan harus secara aktif turut mengambil peranan pimpinan di dalamnya, harus aktif sebagai “agents of modernization” yakni yang memimpin seerta melaksanakan proses modernisasi. (lihat QS. 28 : 77)
VI. KESIMPULAN
- Trend pemikiran Islam kontemporer yang berkembang di Timur Tengah, terutama Mesir pada dasarnya jika dikaji secara mendalam akan muncul varian-varian lain yang kompleks yang mempunyai pola pikir beragam, artinya pada tema-tema tertentu menggunakan pendekatan salafi, dalam moment tertentu terkesan sekuler dan moderat.
- Menolak kecenderungan identifikasi modernisme sebagai:
a. Sekulerisme, faham sekuler la diniyah.
b. Westernisme, faham berkiblat ke Barat tanpa syarat.
c. Kristianisme, faham Katolik atau Protestan.
d. Materialisme.
- Ilmu mempunyai nilai-nilai keimanan dan peradaban jauh dari nilai-nilai religius (al ‘ilm mu’min wal hadlarah kafirah).
Pada hakekatnya ilmu yang dikembangkan oleh Barat adalah baik. Karena penerapannya yang tidak dijiwai oleh ruh agama, hasilnya sebagaimana kita rasakan. Produktivitas intelektual dapat merugikan manusia. Walhasil sebagian besar pemikiran yang ditawarkan sebagai filsafat hidup tidak bisa memberikan solusi yang langgeng. Hanya Islamlah pada akhirnya yang dapat memberikan alternatif sebagai way of life.
- Metodologi Barat, khususnya dalam literatur Islamic Studies, tidaklah lebih dalam, kemasannya saja yang memukau, sehingga tidak sedikit dari cendekiawan kita yang tanpa sadar mengidap penyakit zenomania.
Mereka melegitimasi apa saja yang datang dari Barat adalah lebih benar dan lebih tepat. Hal yang demikian ini menurut teori objektivitas justru akan melunturkan atribut mereka sendiri sebagai cendekiawan. Karena sifat kritis tidak lagi dipakai sebagai pisau analisisnya. Untuk itu, asumsi “Barat lebih maju dan Timur terbelakang” perlu ditinjau ulang, maju dari sisi apa dan mundur dalam dimensi apa?
- Prinsip-prinsip ilmiah (rasional), realistis, berwawasan masa depan (future oriented) adalah seperangkat metode yang dipengaruhi dalam memberikan solusi problematika umat Islam, meskipun demikian tetap berpegang dengan metode salaf. Dengan langkah tersebut ajaran Islam bisa berjalan dan memahami dalam konteks kemodernan.
- Perlu untuk mengaktualisasikan khasanah intelektual para pemikir masa lampau yang terabadikan pada kitab-kitab turats (klasik) karena dari kitab-kitab itulah kita mengambil metode pemikiran para pengarangnya dalam menginterpretasikan ajaran Islam.
- Islam tidak akan terjadi irrelevansi dengan adanya perkembangan zamandan perkembang sosial.
- Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat Islam adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang mengetahui tentang arti dan hikmah dibalik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, dan hal tersebut dinilai sebagai ujian atas keimanan. Implikasi pandangan demikian dari akar teologis aliran Ahl al-sunnah wa al-jama’ah, paham tersebut tidak saja merupakan paham yang membedakan golongan sunni dengan non-sunni (syi’ah khawarij, mu’tazilah), tetapi sekaligus juga membedakan antara golongan tradisionalis dengan modernis.
- Lahirnya Modernisme Islam merupakan gerakan pembaruan atas kemapanan aliran tradisionalisme islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat. Kaum Modernis percaya bahwa ketrebelakangan umat islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya, atau teologi mereka dan meruju kepada pemikiran modernis Mu’tazilah yang cendrung bersifat antroposentris dengan doktrinnya yang terkenal yaitu ushul al-khomsah. Baginya manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri, ia hidup tidak dalam keterpaksaan. Asumsi dasar kaum modernis bahwa keterbelakangan umat islam karena mereka melakukan sakralisasi terhadap semua bidang kehidupan, pada dasarnya sejalan dengan aliran developmentalisme yang beranggapan bahwa kemunduran umat Islam terjadi di indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu mereka cendrung melihat nilai-nilai sikap mental, kreativitas, budaya, dan paham teologi sebagai pokok permasalahan. Wallahu ‘alam bishawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Zuamaul Ishlah fil Ashril Hadits, Kairo: An-Nahdlah al-Mishtiyaa, 1948
Dr. Hasan Sho’ub, Islam dan Revolusi Pemikiran: Dialog Kreatif Ketuhanan dan Kemanusiaan, Surabaya: Risalah Gusti, 1997
Endang Saefullah Anshari, Wawasan Islam, Bandung: Pustaka IPB 1983
H.A.R. Gibb, Modern Term in Islam, Chicago:The University of Chicago Press, 1945
Hasan Hanafi, Al-Din wa al-Tsauroh, vol. 1, hal. 7
Hasan Hanafi, Muqadimah fi ‘Ilm al-Istighrab, Al-Muassasah al-Jam’iyah li al-Dirasah wa al-Nasyr wa al-Tawzi, Beirut, hal. 11
M. Aunul Abied Shah et.al. (editor), Islam Garda Depan: Mozaik Pemikiran Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung:
[1] H.A.R. Gibb, Modern Term in Islam, Chicago:The University of Chicago Press, 1945
[2] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1988, hal 167
[3] Dr. Hasan Sho’ub, Islam dan Revolusi Pemikiran: Dialog Kreatif Ketuhanan dan Kemanusiaan, Surabaya: Risalah Gusti, 1997, hal. 5
[4] Ahmad Amin, Zuamaul Ishlah fil Ashril Hadits, Kairo: An-Nahdlah al-Mishtiyaa, 1948
[5] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998, hal181
[6] Endang Saefullah Anshari, Wawasan Islam, Bandung: Pustaka IPB 1983, hal. 72
[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1998, hal182
[8] Endang Saefullah Anshari, Wawasan Islam, Bandung: Pustaka IPB 1983
[9] Ibid, hal. 72 - 75
[10] Kazuo Shimogoki, Kiri Islam, LKIS Yogyakarta, 1993, hal. 198
1 komentar:
Asalamu'alaikum... pak Amir... Jumpa lagi dalam dunia maya...
Posting Komentar