Liberalisasi Pendidikan Islam di Indonesia
Fenomena merebaknya pemikiran sekularis, pluralis dan liberalis (sipilis) di sejumlah lembaga pendidikan agama Islam bukanlah hal baru. Sejak awal berdirinya, berbagai aliran pemikiran dan paham ideologi tumbuh subur di dalamnya. Bahkan pemikiran ini telah mengilhami berbagai perbuatan nyleneh; mulai dari kasus penyebutan asma Allah dengan, “Allahirrajîm (Allah terkutuk) dan setan dengan, “syaithân subhânnahu wa ta‘âla (setan mahasuci dan mahatinggi)”; kasus penginjakan lafal Allah, kasus penghinaan terhadap Islam, Al-Quran dan Rasulullah saw.; kasus tuntutan penglepasan kewajiban berjilbab; kasus aborsi, kasus perbuatan mesum dan zina sampai kasus pemakaian obat-obatan terlarang.
Tak hanya terjadi di lembaga pendidikan formal, pemikiran sipilis pun telah merasuk ke pondok pesantren. KH Khalil Ridwan pernah menyampaikan peringatannya yang dimuat di “
Konspirasi Barat di Balik Agenda Liberalisasi Pendidikan Islam
Berawal dari pidato Nurcholish Madjid (3/1/1970) di Jakarta dengan judul, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” liberalisasi terhadap ajaran-ajaran dan pandangan Islam dianggap penting. Pidoto ini telah menjadi momentum penting bagi Gerakan Pembaruan (baca: liberalisasi) Islam di Indonesia. Gerakan ini bukan sekadar pemuasan hasrat intelektual belaka, tetapi merupakan gerakan sistemik konspiratif. Arahnya jelas, yakni menyebarkan ide liberalisme Barat ke Dunia Islam. Hal ini sinergis dengan pernyataan Bush seperti yang dimuat Kompas (6/11/2004), “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.”
Pasca runtuhnya Uni Soviet, Barat telah menjadikan Islam sebagai ancaman utama bagi keberlangsungan ideologi kapitalis-liberal. Hal ini dapat disimpulkan dari ungkapan Willi Claes, mantan Sekjen NATO, “Muslim fundamentalis setidak-tidaknya sama bahayanya dengan Komunisme pada masa lalu. Harap jangan menganggap enteng risiko ini…Itu adalah ancaman yang serius karena memunculkan terorisme, fanatisme agama, serta eksploitasi terhadap keadilan sosial dan ekonomi.”
Berbagai kasus pemikiran dan perilaku nyleneh yang terjadi ternyata tidak terlepas dari upaya westernisasi (pem-Barat-an) negeri-negeri Islam yang dipromotori oleh Amerika, Inggris dan sekutunya. Melalui badan dunia PBB dan yayasan-yayasan internasional, Barat beserta para kapitalis melancarkan serangannya dengan menyusun program dan strategi liberalisasi pendidikan ke negara target maupun langsung ke lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam. Konspirasi liberalisasi pendidikan ini merupakan kelanjutan dari upaya Barat menghapuskan peradaban Islam dan mencegah tegaknya kembali syariah dan Khilafah. Selanjutnya Barat berharap akan tetap mampu menancapkan hegemoninya di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam.
Modus Intervensi Barat dalam Liberalisasi Pendidikan Islam
Dalam upaya liberalisasi pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren di
Pertama: intervensi kurikulum pendidikan Islam dan pondok pesantren. Kurikulum sebagai panduan untuk membentuk produk pemikiran dan perilaku pelajar/mahasiswa menjadi salah satu sasaran intervensi. Kurikulum bidang akidah, konsep wahyu maupun syariah Islam menjadi obyek liberalisasi yang tersistemkan. Liberalisasi akidah Islam diarahkan pada penghancuran akidah Islam dan penancapan paham pluralisme agama yang memandang semua agama adalah benar. Liberalisasi konsep wahyu ditujukan untuk menggugat otentisitas (keaslian) al-Quran Mushaf Utsmani dan as-Sunnah. Adapun liberalisasi syariah Islam diarahkan pada penghancuran hukum-hukum Islam dan penghapusan keyakinan umat terhadap syariah Islam sebagai problem solving bagi permasalahan kehidupan manusia. Contoh kasus: “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” adalah mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, di sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam di Jakarta. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Quran dan as-Sunnah. Empat buku referensinya sangat kental dengan ide-ide orientalis. Salah satunya adalah buku ‘Rethingking Islam’ karya Mohammed Arkoun. Dalam buku ini, Arkoun mengajak umat Islam untuk memikirkan kembali dan membongkar hal-hal yang sudah pasti dalam Islam. Ia pun menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen dalam mengkritik kitab sucinya. Terdapat juga mata kuliah “Hermeneutika dan Semiotika” di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Tujuan mata kuliah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan menerapkan ilmu Hermeneutika dan Semiotika terhadap kajian al-Quran dan as-Sunnah. Implikasinya, mahasiswa dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran al-Quran dan as-Sunnah, termasuk meragukan kebenaran tafsir para mufassirin terdahulu karena kebenaran dinilai relatif, sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat. Dalam upaya intervensi kurikulum ini, The Asia Foundation (TAF) tercatat sebagai pengucur dana untuk reformasi kurikulum pendidikan kewarga-negaraan di empat universitas Islam yang membawahi 625 institusi dan kurang lebih 215.000 pelajar. Sejak tahun 2000, TAF bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia mengubah kurikulum untuk memperkuat reformasi demokrasi dan liberalisasi. Di samping intervensi kurikulum pendidikan Islam di Indonesia, Barat pun berupaya mengintervensi kurikulum pondok-pondok pesantren dengan kucuran dana 157 juta dolar AS lewat Departemen
Kedua: bantuan pendidikan dan beasiswa kepada lembaga pendidikan Islam dan pelajar/mahasiswa di
Ketiga: pembentukan jaringan intelektual Muslim yang menyuarakan liberalisasi pemikiran Islam. Jaringan intelektual ini diwakili oleh Jaringan Liberal yang berlabelkan Islam, bekerjasama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri. Jaringan ini gencar menyuarakan kampanye dan pengopinian reorientasi pendidikan Islam menuju pendidikan Islam yang pluralis melalui berbagai media propaganda. Khamami Zada di Jurnal Tashwirul Afkar edisi II/2001 menuliskan:
Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman, kafir, muslim-non-muslim dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan.
Target Akhir: Liberalisasi Pemikiran Islam dan Muslim Moderat
Target akhir dari upaya liberalisasi pendidikan Islam dan pondok pesantren di
Demikianlah proses sistematik-konspiratif dalam liberalisasi pendidikan Islam di Indonesia. Selama dendam Barat masih menyala terhadap Islam, konspirasi akan terus berlanjut. Tidak ada cara lain bagi umat Islam, selain waspada, adalah merapatkan barisan dan menyusun strategi ke depan, agar serangan-serangan semacam ini tidak menghancurkan harapan kebangkitan Islam dan kaum Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar